Sudah lama tidak update isi blog. Sepertinya harus mengaku,
bahwa itu didasarkan pada…rasa malas, hehe. Sebenarnya banyak hal-hal yang
terjadi yang ingin saya angkat sebagai tulisan, namun berakhir hanya di angan.
Anyway, akhirnya saya membulatkan niat (jreeeeng!) untuk mengangkat satu hal
yang (menurut saya) bisa saya bagikan dalam blog ini.
Beberapa hari lalu, saya mengikuti Emerging Leader
Development Program, sebuah program internal perusahaan untuk membangun
karakter pemimpin dari para karyawan. Sebenarnya program ini berlangsung selama
6 bulan, dan beberapa hari lalu adalah pertemuan kedua kami dengan pemateri. Pertemuan
pertama, kira-kira sebulan lalu, lebih mengarah pada pengenalan karakter
pemimpin dan membuat goal. Pertemuan kedua kemarin, selama 2 hari, melatih
kemampuan komunikasi kami.
Saya tidak akan menulis materi dalam program tersebut,
karena [satu] tulisan ini akan menjadi terlalu panjang; [dua] saya tidak punya
catatan tertulis selama pertemuan, karena memang itu bukan materi ujian atau
semacamnya. Jadi, cukup didengar dan dilatih saja.
Yang ingin saya bagi adalah, dalam pertemuan ini, pemateri
menyampaikan bahwa karakter saya sangat mempengaruhi cara berpikir, dan
tentunya cara berkomunikasi saya dengan orang lain. Sedangkan, semua hubungan -baik
pekerjaan, pertemanan, keluarga, pasangan-, mensyaratkan satu hal,
KOMUNIKASI yang baik
Ah, kalau bicara komunikasi yang baik, tentu semua orang
akan merasa, “saya sudah bisa berkomunikasi yang baik, kok.” Sayapun (awalnya)
berpikir begitu. Kemudian dalam pertemuan kemarin, saya berpikir ulang, “apakah
saya sudah berkomunikasi dengan baik?”
Dan saya pun akhirnya menyadari. Dannn…mengakui.
Saya sudah berkomunikasi, mungkin dengan benar. Tapi tidak baik.
Mengapa tidak? Karena saya tidak mempertimbangkan karakter
partner komunikasi saya. Saya terfokus pada apa yang MENURUT SAYA BENAR. Apakah
itu salah? Tidak juga. Lha wong saya berniat positif kok. Menyampaikan maksud
saya. Bukan marah-marah. Atau menghina. Ataupun hal-hal negatif lain.
Tapi, apakah cara saya sudah EFEKTIF?
Nah, itu dia. Yang membedakan adalah cara. Saya terindikasi
berkarakter controller. Tentu harus bisa membedakan cara berkomunikasi antara dengan
promoter, supporter, analyzer, ataupun sesama controller. (anyway, penjelasan
tentang keempat karakter tersebut akan saya bahas lain waktu….kalau tidak malas
:p )
Selain itu, terkadang juga saya melakukan komunikasi yang
bersifat PERMINTAAN. Apakah itu adalah PERMINTAAN EFEKTIF, dapat terlihat dari
jawaban pendengar; yaitu antara ya, tidak, atau menawarkan alternatif lain. Dan
permintaan efektif, seharusnya memuat mengenai : hal yang diminta, waktu yang
diberikan, alasan permintaan, dan situasi yang berlangsung ketika permintaan
dibuat. Sehingga, pendengar dapat memberikan jawaban yang efektif pula, bukan
yang nanggung, atau malah ‘kabur’.
Singkatnya, saya belajar sesuatu.
Bahwa apabila saya tidak mendapat tanggapan yang saya
harapkan dari partner saat saya mengomunikasikan maksud saya, bukan berarti
partner saya yang bermasalah. Tapi bisa jadi, komunikasi saya yang kurang
efektif.
Sudahkah saya bersikap yang membuat partner nyaman saat
berkomunikasi?
Sudahkah saya melihat situasi dan kondisi yang berlangsung,
baik pada saya maupun partner?
Sudahkah saya berempati pada partner?
Semoga ke depannya, saya bisa semakin baik dalam berkomunikasi,
dengan siapa saja.
Bahkan dengan Tuhan sekalipun.