Kelemahan saya :
Saat mengenal orang baru dengan karakter tertentu (yang tidak akan saya bagi di sini, will keep it on my mind :p ), saya akan cenderung ber-positive thinking terhadapnya.
Seorang teman baik pernah mengingatkan, "Luh, ada kalanya kita harus negative thinking sama orang lain. Bukan apa-apa, supaya waspada."
Saya pikir, "Ah, saya kan sudah dewasa. Masak iya ga bisa menghadapi orang yg ternyata negatif."
Nyatanya, memang bisa sih. Tapi satu paket juga dengan sakit hati, hehehe.
Nah, mengapa? Karena biasanya kalau saya sudah berpikiran positif tentang seseorang -entah sebagai pasangan, kawan, atau rekan kerja-, saya akan 'sedikit' berlebihan dalam menyikapi mereka. Misalkan, terlalu baik, terlalu 'mbelani' (saya sulit menemukan padanan katanya dalam bahasa Indonesia, hehe), dan terlalu berharap.
Ujung-ujungnya, jika mereka tidak bersikap sebagaimana yang saya kira, saya kecewa.
Memang ada kalanya sih, mereka yang salah bersikap, atau lebih buruk lagi, memanfaatkan kebaikan saya.
Tapi ada kalanya pula, kecewa hanya karena....over ekspektasi.
Dan beberapa hal yang saya alami belakangan ini membuat saya kecewa. Hmm.
Kemudian saya curhat dengan atasan saya. Beliau masih muda, under 40, dan saya cukup nyaman bercerita kepada beliau (catatan : beliau sudah menikah, kok. Don't think too much :p )
Dari situ saya akhirnya menyadari, mungkin.....kekecewaan saya yah, semata karena saya over-ekspetasi. Berharap sesuatu yang mungkin.....tidak diijinkan Tuhan untuk terjadi. Atau belum diijinkan. Who knows.
Bisa jadi, harapan berlebihan itu muncul karena situasi pribadi saya yang, yah...begitulah. Won't share about it here.
Tapi menurut beliau pula, apabila seseorang (di usia saya) beritikad serius terhadap saya, maka it won't take a long time to make a move. At least, to show his willing to have a mature relationship with me.
Jika tidak, berarti? Ya sudah.
Sejauh, se-intens apapun saya berharap, kehendak Tuhanlah yang berjalan. Dan satu-satunya yang harus diyakini, segala kehendak-Nya adalah kebaikan.
A reminder for me :)
NB :
Beliau bercerita pula tentang istri Nabi, Khadijah, yang percaya sepenuhnya dengan Nabi saat dipersunting, dalam kondisi Nabi di masa itu yang miskin dan disebut 'gila' oleh masyarakat.
Artinya, yang terpenting dari seorang pria adalah kesungguhannya dalam membahagiakan keluarganya. Bukan apa yang dia punya, ataupun siapa dia saat ini.
Another reminder.