Monday, March 7, 2016

Reminder

Kelemahan saya :
Saat mengenal orang baru dengan karakter tertentu (yang tidak akan saya bagi di sini, will keep it on my mind :p ), saya akan cenderung ber-positive thinking terhadapnya. 
Seorang teman baik pernah mengingatkan, "Luh, ada kalanya kita harus negative thinking sama orang lain. Bukan apa-apa, supaya waspada."
Saya pikir, "Ah, saya kan sudah dewasa. Masak iya ga bisa menghadapi orang yg ternyata negatif."
Nyatanya, memang bisa sih. Tapi satu paket juga dengan sakit hati, hehehe.

Nah, mengapa? Karena biasanya kalau saya sudah berpikiran positif tentang seseorang -entah sebagai pasangan, kawan, atau rekan kerja-, saya akan 'sedikit' berlebihan dalam menyikapi mereka. Misalkan, terlalu baik, terlalu 'mbelani' (saya sulit menemukan padanan katanya dalam bahasa Indonesia, hehe), dan terlalu berharap.

Ujung-ujungnya, jika mereka tidak bersikap sebagaimana yang saya kira, saya kecewa.
Memang ada kalanya sih, mereka yang salah bersikap, atau lebih buruk lagi, memanfaatkan kebaikan saya.
Tapi ada kalanya pula, kecewa hanya karena....over ekspektasi.

Dan beberapa hal yang saya alami belakangan ini membuat saya kecewa. Hmm.

Kemudian saya curhat dengan atasan saya. Beliau masih muda, under 40, dan saya cukup nyaman bercerita kepada beliau (catatan : beliau sudah menikah, kok. Don't think too much :p )
Dari situ saya akhirnya menyadari, mungkin.....kekecewaan saya yah, semata karena saya over-ekspetasi. Berharap sesuatu yang mungkin.....tidak diijinkan Tuhan untuk terjadi. Atau belum diijinkan. Who knows.

Bisa jadi, harapan berlebihan itu muncul karena situasi pribadi saya yang, yah...begitulah. Won't share about it here.

Tapi menurut beliau pula, apabila seseorang (di usia saya) beritikad serius terhadap saya, maka it won't take a long time to make a move. At least, to show his willing to have a mature relationship with me.
Jika tidak, berarti? Ya sudah.
Sejauh, se-intens apapun saya berharap, kehendak Tuhanlah yang berjalan. Dan satu-satunya yang harus diyakini, segala kehendak-Nya adalah kebaikan.

A reminder for me :)

NB :
Beliau bercerita pula tentang istri Nabi, Khadijah, yang percaya sepenuhnya dengan Nabi saat dipersunting, dalam kondisi Nabi di masa itu yang miskin dan disebut 'gila' oleh masyarakat.
Artinya, yang terpenting dari seorang pria adalah kesungguhannya dalam membahagiakan keluarganya. Bukan apa yang dia punya, ataupun siapa dia saat ini.
Another reminder.

Friday, March 4, 2016

Untitled (2)

I believe my heart. 
It believes in you. 
It's telling me that what I see is completely true. 
I believe my heart. 
How can it be wrong? 
It says that what I feel for you I will feel my whole life long. 

I Believe My Heart - Duncan James
-Terdengar dari radio mobil saat pulang kantor, sekitar pukul 17.30, menunggu lampu merah berubah hijau-



Saya seorang extroverted introvert. Introvert yang extrovert.

Artinya, saya suka bertemu orang baru, atau membaur di lingkungan baru. Saya suka berbicara tentang diri saya, dan hal-hal normal selayaknya seorang extrovert.
Tapi akrab sekalipun tidak membuat seseorang saya tahbiskan sebagai orang yang mengetahui saya luar-dalam.
Bukan berarti saya menggunakan topeng. Hanya saja, saya merasa tidak nyaman jika harus membuka diri saya kepada orang lain yang, yah, mungkin tidak terlalu peduli dengan sosok 'saya'. Yang bisa jadi, hanya nyaman dengan saya untuk bersenang-senang saja, atau karena kesamaan hal-hal favorit semata.

Dan lama waktu mengenal bukan pula menjadi patokan keterbukaan saya terhadap seseorang. Yah biasanya, saya 'memutuskan' untuk terbuka dengan seseorang dengan cara (please don't call me cheesy :p )......percaya dengan kata hati. So naive, I know. Hehe.

Ketika hati saya berkata bahwa saya bisa terbuka dengan seseorang, maka saya percaya itu.
Jadi ketika saya baru mengenal seseorang, dan dapat terbuka dengan orang tersebut, maka percayalah bahwa saya sudah melakukan lompatan besar di luar kebiasaan saya.
Yang artinya, mungkin, orang itu cukup istimewa.

Tapi belum tentu istimewa untuk seterusnya. Karena dalam setiap 'lompatan' tersebut, selalu diikuti dengan kekhawatiran bahwa saya telah salah menilai.
"Salah ga ya? Jangan-jangan dia sebenarnya ga care, cuma yah baik aja. Jangan-jangan saya salah menilai. Jangan-jangan cuma manfaatin aja.. Jangan-jangan...."
 Dan jujur saja, apabila saya tidak menemukan jawaban kekhawatiran saya, saya akan lebih memilih untuk....berhenti.
Berhenti sejenak untuk melihat, apakah yang saya lakukan sudah benar? Apakah sudah ada jawaban? Apakah dia juga melakukan hal yang sama, berusaha untuk mengenal saya sedalam-dalamnya?

Jika masa hiatus itu butuh waktu lama dan tidak menemukan jawaban apa pun, ya sudah.

Let it go.

(Lha wong yang sudah mengenal luar-dalam dalam waktu lama, nyatanya tidak berjuang sungguh-sungguh - iya, ini curcol )


NB : and I'm still waiting.


Wednesday, March 2, 2016

UNTITLED

Sebuah tulisan yang saya ambil dari akun Facebook Denny Siregar.

Sebuah tulisan yang persis menyampaikan apa yang saya lihat dari kedua orangtua saya. Bukan sesederhana kata 'I love you' atau peluk-cium semata.
Tapi sebuah bentuk penerimaan luar biasa terhadap segala bentuk kekurangan pasangan dan ujian-ujian yang dilalui bersama. Tidak selalu indah dan mudah, karena hal-hal yang mengecewakan pun (pastinya) kerap terjadi. Dan kebahagiaan atas kondisi 'saling menerima' itupun tidak selalu terlihat oleh orang lain. Jangan lupa, bahwa orang lain lebih suka melihat apa yang ingin mereka lihat, bukan apa yang benar-benar tersirat dan tersurat.

Dan pengalaman dari hubungan terakhir saya mengajarkan bahwa 'penerimaan' itu bukan hal yang bisa diminta dari pasangan. Tetapi itu adalah kesadaran pribadi dari seseorang untuk melakukannya. Jika hanya salah satu saja yang melakukan, maka tidak akan bisa berjalan. Walaupun dengan berton-ton kata 'i love you' yang diberikan.

Semoga, ketika suatu saat saya ditakdirkan untuk hidup bersama seseorang (entah siapa, di mana, dan dengan cara apa kami dipertemukan), maka kami telah siap, bersedia, dan ikhlas dalam menerima kekurangan masing-masing dan menjalani hidup (baik nikmat maupun ujian) dengan bahagia, bersama-sama.
Bukankah tujuan hidup sebenarnya adalah untuk berbahagia dan membahagiakan orang tersayang?
Yah, setidaknya, bagi saya :)

Monggo dinikmati, berikut tulisan beliau.

KETIKA TUHAN MENGANTARKAN PAKET AMAL DI HADAPANMU..
by : Denny Siregar

"Kasihan dia sekarang.."
"Kenapa ?"


"Ibunya stroke sejak 7 tahun lalu. Dia anak satu2nya. Istrinya minta cerai karena tidak mau mengurus mertuanya. Anaknya satu, masih kecil. Dia terpaksa keluar dari kerjaan karena mengurus ibunya dan anaknya. Duh, kasihan-lah pokoknya...."


Kutatap wajah temanku. Ada guratan keprihatinan di wajahnya membayangkan kehidupan temannya. Dia merasa sangat bersyukur dengan hidupnya yang lebih baik. Aku tersenyum.

Terbayang ketika aku berkunjung ke seorang sahabat yang terkena kanker stadium akhir. Dia sudah tidak bisa bangun dari tempat tidurnya. Tubuhnya kurus tinggal tulang. Anehnya, wajahnya ceria. Senyumnya terus mengembang.

Aku duduk disampingnya, memegang tangannya dengan jari2 yang kurus. Kami pernah melewati "masa gila" bersama. Masa ketika rasa takut itu bukan menjadi bagian dari diri kami. Masa ketika kami sama sekali tidak berfikir.

"Kamu tahu, den.." Katanya lemah. "Banyak orang yang memandang kasihan padaku. Mereka menganggap apa yang aku alami adalah musibah. Kata-kata mereka mencoba menghiburku. Tapi apa yang harus dihibur ? Aku sedang gembira..."

Aku tersenyum. Begitulah sahabatku. Sisi pandangnya selalu menarik untuk disimak.

"Tidak banyak orang tahu, bahwa sakit, kemiskinan, kepedihan, kesulitan adalah cara Tuhan untuk mengikis dosa2 yg selama ini kita lakukan. Seandainya mereka tahu, bahwa penyakit itu adaah anugerah, maka mereka tentu menyambutnya dengan gembira.

Bayangkan, dosa2 dikikis di dunia supaya ringan siksa kita di alam kubur nanti, yang kita tidak bisa membayangkan seberapa keras tekanannya. Betapa mulyanya. Tentu saja aku menjadi gembira. Kamu belum tentu semulya aku sekarang, karena pengikisan dosaku jauh lebih cepat dari kamu... "

Aku tersenyum. Berat rasanya kelopak mataku. Ada embun yang menggantung disana. Bukan karena sedih, bukan. Karena aku sangat kagum akan cara pandangnya dengan dasar ilmu yang kuat.

"Dan dia..." Temanku memandang ke istrinya yang tersenyum di pojok kamar meihat kami berdua ngobrol bersama. "Dia paham, bahwa aku adalah ladang amal-nya yang harus dia jemput. Aku adalah poin2, bonus yang dia kumpulkan untuk bekal perjalanan dia di alam kubur nantinya. Kesabaran dan keikhlasan dia merawatku menjadi penyelamat dia nantinya. Tuhan memberiku sakit sebagai pengikis dosaku, dan Tuhan mengirimkan aku dalam kondisi sakit kepada istriku sebagai "paket amal" yang diantarkan langsung ke depannya untuk dia kumpulkan..."

Temanku menoleh kepadaku. "Hebat, bukan ?" Senyumnya tidak pernah kulupakan. Senyum terakhir yang aku rekam dalam otakku saat aku mengantarnya berbaring di kegelapan kubur. Ketika satu persatu tanah dimasukkan ke liangnya, istrinya terduduk ditanah dengan tangis yang tertahan.

Aku merasa itu tangis kegembiraan karena ia berhasil mengumpulkan poin amal sebanyak2nya yang dikirimkan Tuhan kepadanya.

Ah, aku baru teringat. Temanku dan istrinya mengambil sudut pandang akhirat dalam membaca peristiwa mereka, berbanding terbalik dengan banyak orang yang mengambil sudut pandang dunia sehingga mereka menganggapnya sebuah musibah.

Selamat jalan, sahabatku.. Di perjallanan kedua nanti, semoga engkau sudah menyiapkanku secangkir kopi untuk menemani kita bercerita.

"Dunia adalah tempat amal tanpa perhitungan, dan akhirat adalah tempat perhitungan tanpa amal" - Imam Ali as.