Sudah lama tidak produktif nge-blog, nih. Terakhir 5 Mei 2016, sudah sekitar 4 bulan lalu.
So, what happens nowadays?
Well, kalau saya bisa bilang dalam 1 kata.......BANYAK.
lots of happy stories, of course, including this introvert man. :)
Cerita lain, rencana jalan-jalan bersama teman yang (akhirnya) terwujud juga setelah beberapa kali penundaan. Will write it down, ASAP.
Hal-hal lain, hmmm....biarkan mengendap di kepala dulu sebelum saya bagikan di blog ini.
Selamat siang. Selamat ber-akhir minggu!
An Open Diary. Because everyone have their right to write what's on their mind, right?
Friday, September 16, 2016
Thursday, May 5, 2016
Mengatur Anggaran : Menjadi Realistis, daripada Miris
Halo!
Setelah beberapa post dengan topik yang random (karena menyesuaikan dengan
suasana hati, sih :p ), sepertinya saya ingin berbagi hal-hal yang (semoga
saja) bermanfaat. Dan itu adalah tentang….bagaimana mengatur keuangan rumah
tangga dengan efisien!
*Lah, emang situ udah berumah tangga?*
Belum, sih :p . Tapi
kan mengatur keuangan rumah tangga bukan monopoli wanita dengan status istri
saja, to?
Jadi, sehari-hari saya tinggal bersama keluarga komplit,
minus kakak yang sudah menikah. Nah, karena kondisi tertentu, akhirnya posisi
menteri keuangan diserahkan ke saya. Tentu saja, posisi Ibu Suri tetap di
tangan Ibu! :))
A. Daftar
Biasanya, saya memulai dengan membuat daftar : (1). Sumber
pemasukan; (2) Pengeluaran wajib. O iya, penting untuk menyiapkan nomor
rekening khusus untuk keluar-masuk dana. Jadi, tidak akan bercampur dengan dana
pribadi. Bisa repot deh kaloautercampur, bisa-bisa ge er bahwa dana di rekening pribadi
masih banyak dan telanjur digunakan untuk beli bedak, eh ternyata itu duit
beras. Hmmm.
Untuk poin (1), apabila sumbernya dari beberapa pihak
(seperti pengalaman saya), wajib dikonfirmasi kesanggupan tiap pihak, berapa
nominal perbulan yang akan diberikan? Dan kapan? Karena dalam prinsip keluarga
kami, masalah keuangan harus terbuka. Tidak boleh ada paksaan, tidak boleh ada
yang dikorbankan. Tujuannya, agar perencanaan awal dapat serealistis mungkin. Tidak
ngawur.
Untuk poin (2), saya memasukkan kebutuhan dasar seperti :
belanja (sehari-hari & bulanan), iuran lingkungan, rekening
air-listrik-internet-TV, gaji ART, kesehatan, dan tabungan. Kebutuhan hiburan
sengaja tidak saya masukkan, karena bersifat tentatif. Dan biasanya kami,
para anak, lebih memilih mengeluarkan dana pribadi kami untuk keperluan hiburan
keluarga (semoga rejeki kami selalu lancar, aamiin!).
B. Penyeimbangan
Langkah berikutnya adalah, menyeimbangkan antara nilai pemasukan
dan pengeluaran. Tidak lucu kan, kalau besar pasak daripada tiang.
Bagaimana kalau pengeluaran wajib lebih besar dari pada
sumber pemasukan? Ya satu-satunya cara, adalah penyesuaian kembali anggaran.
Dan hal ini tergantung kondisi masing-masing rumah tangga. Ada yang
menyesuaikan di anggaran rekening, atau belanja, atau juga kesehatan.
Tergantung prioritasnya, sih. Yang penting, sebisa mungkin hindari HUTANG!
Kenapa hindari hutang? Ya pastinya sudah jelas : hutang tetap
terhitung defisit anggaran, dan istilahnya orang Jawa : mbendol mburi! Yah,
semacam kesenangan sesaat yang pada akhirnya tetap harus dibayar. Duh, semoga
dihindarkan dari hutang deh.
Bagaimana dengan kartu kredit? Walaupun juga berarti hutang
(di dunia modern), kartu kredit bisa tetap bermanfaat tanpa membuat defisit
anggaran, asalkan : (1). Limit realistis, tidak lebih dari 1/3 pendapatan
bulanan; (2). Pemakaian tidak melebihi limit, lebih baik lagi kalau membatasi
diri sendiri pemakaian sampai dengan nominal tertentu; (3). Pembayaran tagihan
masuk dalam daftar pengeluaran wajib.
Tapi khusus kartu kredit, saya hanya menggunakannya untuk
penggunaan pribadi sih, bukan rumah tangga. Entah kalau sudah menikah nanti
(eh, mungkin minta dibayarin suami saja ya? :p ).
C. Siapkan Dana Tunai
Kalau sudah seimbang antara pemasukan dan pengeluaran, saya
biasanya akan menyiapkan uang tunai sejumlah yang dibutuhkan dalam catatan
pengeluaran.
Lho, memangnya harus tunai ya? Ya tidak juga sih. Tapi buat
saya, uang tunai akan lebih mudah untuk diakses oleh penghuni rumah, mengingat
sehari-hari yang ada di rumah adalah bapak-ibu yang sudah pensiun. Akan
merepotkan kalau harus menunggu kami pulang di sore/malam hari membawa dana tunai
sesuai yang dibutuhkan, padahal butuhnya sudah dari siang. Kalau kata Cinta
sih, “Basi! Madingnya udah siap terbit!”. Lol.
Saya terbiasa menyiapkan amplop untuk masing-masing pos,
supaya tidak bercampur dan lebih praktis saja sih. O iya, untuk pengeluaran
yang sifatnya dibayar / dibeli melalui ATM; seperti rekening lsitrik, internet,
TV, telepon; tidak saya ambil tunai. Biar tetap di rekening bank saja. Stay there, stay safe.
D. Catat
Kemudian yang paling penting adalah : CATAT!
Kenapa? Karena dengan adanya catatan keuangan, kita akan
bisa mengevaluasi; apakah anggaran kita sudah realistis? Apakah ternyata bisa
dikurangi, atau malah harus ditambah? Atau mungkin bisa ada subsidi silang
antar pos pengeluaran?
Apabila langkah-langkah tersebut konsisten dilakukan setiap
bulannya, seharusnya sih bisa lebih efisien dan lebih tenang. Tidak ketar-ketir
menjelang tengah atau akhir bulan memikirkan dana yang ada, cukup atau tidak
ya?
Yah, walaupun topik post ini rasanya kok 'ibu-ibu' banget, tapi penting lho! *iya-in aja lah*
Semoga saat sudah menikah (aamiin!) dan menjadi istri dan
ibu nanti, saya tetap bisa konsisten menjalankannya. Asal….tidak impulsif saat
melihat barang yang disuka :))
Saturday, April 16, 2016
Komunikasi (?)
Sudah lama tidak update isi blog. Sepertinya harus mengaku,
bahwa itu didasarkan pada…rasa malas, hehe. Sebenarnya banyak hal-hal yang
terjadi yang ingin saya angkat sebagai tulisan, namun berakhir hanya di angan.
Anyway, akhirnya saya membulatkan niat (jreeeeng!) untuk mengangkat satu hal
yang (menurut saya) bisa saya bagikan dalam blog ini.
Beberapa hari lalu, saya mengikuti Emerging Leader
Development Program, sebuah program internal perusahaan untuk membangun
karakter pemimpin dari para karyawan. Sebenarnya program ini berlangsung selama
6 bulan, dan beberapa hari lalu adalah pertemuan kedua kami dengan pemateri. Pertemuan
pertama, kira-kira sebulan lalu, lebih mengarah pada pengenalan karakter
pemimpin dan membuat goal. Pertemuan kedua kemarin, selama 2 hari, melatih
kemampuan komunikasi kami.
Saya tidak akan menulis materi dalam program tersebut,
karena [satu] tulisan ini akan menjadi terlalu panjang; [dua] saya tidak punya
catatan tertulis selama pertemuan, karena memang itu bukan materi ujian atau
semacamnya. Jadi, cukup didengar dan dilatih saja.
Yang ingin saya bagi adalah, dalam pertemuan ini, pemateri
menyampaikan bahwa karakter saya sangat mempengaruhi cara berpikir, dan
tentunya cara berkomunikasi saya dengan orang lain. Sedangkan, semua hubungan -baik
pekerjaan, pertemanan, keluarga, pasangan-, mensyaratkan satu hal,
KOMUNIKASI yang baik
Ah, kalau bicara komunikasi yang baik, tentu semua orang
akan merasa, “saya sudah bisa berkomunikasi yang baik, kok.” Sayapun (awalnya)
berpikir begitu. Kemudian dalam pertemuan kemarin, saya berpikir ulang, “apakah
saya sudah berkomunikasi dengan baik?”
Dan saya pun akhirnya menyadari. Dannn…mengakui.
Saya sudah berkomunikasi, mungkin dengan benar. Tapi tidak baik.
Mengapa tidak? Karena saya tidak mempertimbangkan karakter
partner komunikasi saya. Saya terfokus pada apa yang MENURUT SAYA BENAR. Apakah
itu salah? Tidak juga. Lha wong saya berniat positif kok. Menyampaikan maksud
saya. Bukan marah-marah. Atau menghina. Ataupun hal-hal negatif lain.
Tapi, apakah cara saya sudah EFEKTIF?
Nah, itu dia. Yang membedakan adalah cara. Saya terindikasi
berkarakter controller. Tentu harus bisa membedakan cara berkomunikasi antara dengan
promoter, supporter, analyzer, ataupun sesama controller. (anyway, penjelasan
tentang keempat karakter tersebut akan saya bahas lain waktu….kalau tidak malas
:p )
Selain itu, terkadang juga saya melakukan komunikasi yang
bersifat PERMINTAAN. Apakah itu adalah PERMINTAAN EFEKTIF, dapat terlihat dari
jawaban pendengar; yaitu antara ya, tidak, atau menawarkan alternatif lain. Dan
permintaan efektif, seharusnya memuat mengenai : hal yang diminta, waktu yang
diberikan, alasan permintaan, dan situasi yang berlangsung ketika permintaan
dibuat. Sehingga, pendengar dapat memberikan jawaban yang efektif pula, bukan
yang nanggung, atau malah ‘kabur’.
Singkatnya, saya belajar sesuatu.
Bahwa apabila saya tidak mendapat tanggapan yang saya
harapkan dari partner saat saya mengomunikasikan maksud saya, bukan berarti
partner saya yang bermasalah. Tapi bisa jadi, komunikasi saya yang kurang
efektif.
Sudahkah saya bersikap yang membuat partner nyaman saat
berkomunikasi?
Sudahkah saya melihat situasi dan kondisi yang berlangsung,
baik pada saya maupun partner?
Sudahkah saya berempati pada partner?
Semoga ke depannya, saya bisa semakin baik dalam berkomunikasi,
dengan siapa saja.
Bahkan dengan Tuhan sekalipun.
Monday, March 7, 2016
Reminder
Kelemahan saya :
Saat mengenal orang baru dengan karakter tertentu (yang tidak akan saya bagi di sini, will keep it on my mind :p ), saya akan cenderung ber-positive thinking terhadapnya.
Seorang teman baik pernah mengingatkan, "Luh, ada kalanya kita harus negative thinking sama orang lain. Bukan apa-apa, supaya waspada."
Saya pikir, "Ah, saya kan sudah dewasa. Masak iya ga bisa menghadapi orang yg ternyata negatif."
Nyatanya, memang bisa sih. Tapi satu paket juga dengan sakit hati, hehehe.
Nah, mengapa? Karena biasanya kalau saya sudah berpikiran positif tentang seseorang -entah sebagai pasangan, kawan, atau rekan kerja-, saya akan 'sedikit' berlebihan dalam menyikapi mereka. Misalkan, terlalu baik, terlalu 'mbelani' (saya sulit menemukan padanan katanya dalam bahasa Indonesia, hehe), dan terlalu berharap.
Ujung-ujungnya, jika mereka tidak bersikap sebagaimana yang saya kira, saya kecewa.
Memang ada kalanya sih, mereka yang salah bersikap, atau lebih buruk lagi, memanfaatkan kebaikan saya.
Tapi ada kalanya pula, kecewa hanya karena....over ekspektasi.
Dan beberapa hal yang saya alami belakangan ini membuat saya kecewa. Hmm.
Kemudian saya curhat dengan atasan saya. Beliau masih muda, under 40, dan saya cukup nyaman bercerita kepada beliau (catatan : beliau sudah menikah, kok. Don't think too much :p )
Dari situ saya akhirnya menyadari, mungkin.....kekecewaan saya yah, semata karena saya over-ekspetasi. Berharap sesuatu yang mungkin.....tidak diijinkan Tuhan untuk terjadi. Atau belum diijinkan. Who knows.
Bisa jadi, harapan berlebihan itu muncul karena situasi pribadi saya yang, yah...begitulah. Won't share about it here.
Tapi menurut beliau pula, apabila seseorang (di usia saya) beritikad serius terhadap saya, maka it won't take a long time to make a move. At least, to show his willing to have a mature relationship with me.
Jika tidak, berarti? Ya sudah.
Sejauh, se-intens apapun saya berharap, kehendak Tuhanlah yang berjalan. Dan satu-satunya yang harus diyakini, segala kehendak-Nya adalah kebaikan.
A reminder for me :)
NB :
Beliau bercerita pula tentang istri Nabi, Khadijah, yang percaya sepenuhnya dengan Nabi saat dipersunting, dalam kondisi Nabi di masa itu yang miskin dan disebut 'gila' oleh masyarakat.
Artinya, yang terpenting dari seorang pria adalah kesungguhannya dalam membahagiakan keluarganya. Bukan apa yang dia punya, ataupun siapa dia saat ini.
Another reminder.
Friday, March 4, 2016
Untitled (2)
I believe my heart.
It believes in you.
It's telling me that what I see is completely true.
I believe my heart.
How can it be wrong?
It believes in you.
It's telling me that what I see is completely true.
I believe my heart.
How can it be wrong?
It says that what I feel for you I will feel my whole life long.
I Believe My Heart - Duncan James
-Terdengar dari radio mobil saat pulang kantor, sekitar pukul 17.30, menunggu lampu merah berubah hijau-
Saya seorang extroverted introvert. Introvert yang extrovert.
Artinya, saya suka bertemu orang baru, atau membaur di lingkungan baru. Saya suka berbicara tentang diri saya, dan hal-hal normal selayaknya seorang extrovert.
Tapi akrab sekalipun tidak membuat seseorang saya tahbiskan sebagai orang yang mengetahui saya luar-dalam.
Bukan berarti saya menggunakan topeng. Hanya saja, saya merasa tidak nyaman jika harus membuka diri saya kepada orang lain yang, yah, mungkin tidak terlalu peduli dengan sosok 'saya'. Yang bisa jadi, hanya nyaman dengan saya untuk bersenang-senang saja, atau karena kesamaan hal-hal favorit semata.
Dan lama waktu mengenal bukan pula menjadi patokan keterbukaan saya terhadap seseorang. Yah biasanya, saya 'memutuskan' untuk terbuka dengan seseorang dengan cara (please don't call me cheesy :p )......percaya dengan kata hati. So naive, I know. Hehe.
Ketika hati saya berkata bahwa saya bisa terbuka dengan seseorang, maka saya percaya itu.
Jadi ketika saya baru mengenal seseorang, dan dapat terbuka dengan orang tersebut, maka percayalah bahwa saya sudah melakukan lompatan besar di luar kebiasaan saya.
Yang artinya, mungkin, orang itu cukup istimewa.
Tapi belum tentu istimewa untuk seterusnya. Karena dalam setiap 'lompatan' tersebut, selalu diikuti dengan kekhawatiran bahwa saya telah salah menilai.
"Salah ga ya? Jangan-jangan dia sebenarnya ga care, cuma yah baik aja. Jangan-jangan saya salah menilai. Jangan-jangan cuma manfaatin aja.. Jangan-jangan...."
Dan jujur saja, apabila saya tidak menemukan jawaban kekhawatiran saya, saya akan lebih memilih untuk....berhenti.
Berhenti sejenak untuk melihat, apakah yang saya lakukan sudah benar? Apakah sudah ada jawaban? Apakah dia juga melakukan hal yang sama, berusaha untuk mengenal saya sedalam-dalamnya?
Jika masa hiatus itu butuh waktu lama dan tidak menemukan jawaban apa pun, ya sudah.
Let it go.
(Lha wong yang sudah mengenal luar-dalam dalam waktu lama, nyatanya tidak berjuang sungguh-sungguh - iya, ini curcol )
NB : and I'm still waiting.
Wednesday, March 2, 2016
UNTITLED
Sebuah tulisan yang saya
ambil dari akun Facebook Denny Siregar.
Sebuah tulisan yang persis
menyampaikan apa yang saya lihat dari kedua orangtua saya. Bukan sesederhana
kata 'I love you' atau peluk-cium semata.
Tapi sebuah bentuk
penerimaan luar biasa terhadap segala bentuk kekurangan pasangan dan
ujian-ujian yang dilalui bersama. Tidak selalu indah dan mudah, karena hal-hal yang mengecewakan pun (pastinya) kerap terjadi. Dan kebahagiaan
atas kondisi 'saling menerima' itupun tidak selalu terlihat oleh orang lain. Jangan lupa, bahwa orang lain lebih suka melihat apa yang ingin mereka lihat, bukan apa yang benar-benar tersirat dan tersurat.
Dan pengalaman dari hubungan terakhir saya mengajarkan bahwa 'penerimaan' itu bukan hal yang bisa diminta dari pasangan. Tetapi itu adalah kesadaran pribadi dari seseorang untuk melakukannya. Jika hanya salah satu saja yang melakukan, maka tidak akan bisa berjalan. Walaupun dengan berton-ton kata 'i love you' yang diberikan.
Semoga, ketika suatu saat
saya ditakdirkan untuk hidup bersama seseorang (entah siapa, di mana, dan
dengan cara apa kami dipertemukan), maka kami telah siap, bersedia, dan ikhlas
dalam menerima kekurangan masing-masing dan menjalani hidup (baik nikmat maupun
ujian) dengan bahagia, bersama-sama.
Bukankah tujuan hidup sebenarnya adalah untuk berbahagia dan membahagiakan orang tersayang?
Yah, setidaknya, bagi saya :)
Monggo dinikmati, berikut
tulisan beliau.
KETIKA TUHAN MENGANTARKAN
PAKET AMAL DI HADAPANMU..
by : Denny Siregar
"Kasihan
dia sekarang.."
"Kenapa
?"
"Ibunya stroke sejak 7 tahun lalu. Dia anak satu2nya. Istrinya minta cerai
karena tidak mau mengurus mertuanya. Anaknya satu, masih kecil. Dia terpaksa
keluar dari kerjaan karena mengurus ibunya dan anaknya. Duh, kasihan-lah
pokoknya...."
Kutatap
wajah temanku. Ada guratan keprihatinan di wajahnya membayangkan kehidupan
temannya. Dia merasa sangat bersyukur dengan hidupnya yang lebih baik. Aku
tersenyum.
Terbayang
ketika aku berkunjung ke seorang sahabat yang terkena kanker stadium akhir. Dia
sudah tidak bisa bangun dari tempat tidurnya. Tubuhnya kurus tinggal tulang.
Anehnya, wajahnya ceria. Senyumnya terus mengembang.
Aku
duduk disampingnya, memegang tangannya dengan jari2 yang kurus. Kami pernah
melewati "masa gila" bersama. Masa ketika rasa takut itu bukan
menjadi bagian dari diri kami. Masa ketika kami sama sekali tidak berfikir.
"Kamu
tahu, den.." Katanya lemah. "Banyak orang yang memandang kasihan
padaku. Mereka menganggap apa yang aku alami adalah musibah. Kata-kata mereka
mencoba menghiburku. Tapi apa yang harus dihibur ? Aku sedang gembira..."
Aku
tersenyum. Begitulah sahabatku. Sisi pandangnya selalu menarik untuk disimak.
"Tidak
banyak orang tahu, bahwa sakit, kemiskinan, kepedihan, kesulitan adalah cara
Tuhan untuk mengikis dosa2 yg selama ini kita lakukan. Seandainya mereka tahu,
bahwa penyakit itu adaah anugerah, maka mereka tentu menyambutnya dengan
gembira.
Bayangkan,
dosa2 dikikis di dunia supaya ringan siksa kita di alam kubur nanti, yang kita
tidak bisa membayangkan seberapa keras tekanannya. Betapa mulyanya. Tentu saja
aku menjadi gembira. Kamu belum tentu semulya aku sekarang, karena pengikisan
dosaku jauh lebih cepat dari kamu... "
Aku
tersenyum. Berat rasanya kelopak mataku. Ada embun yang menggantung disana.
Bukan karena sedih, bukan. Karena aku sangat kagum akan cara pandangnya dengan
dasar ilmu yang kuat.
"Dan
dia..." Temanku memandang ke istrinya yang tersenyum di pojok kamar meihat
kami berdua ngobrol bersama. "Dia paham, bahwa aku adalah ladang amal-nya
yang harus dia jemput. Aku adalah poin2, bonus yang dia kumpulkan untuk bekal
perjalanan dia di alam kubur nantinya. Kesabaran dan keikhlasan dia merawatku
menjadi penyelamat dia nantinya. Tuhan memberiku sakit sebagai pengikis dosaku,
dan Tuhan mengirimkan aku dalam kondisi sakit kepada istriku sebagai
"paket amal" yang diantarkan langsung ke depannya untuk dia
kumpulkan..."
Temanku
menoleh kepadaku. "Hebat, bukan ?" Senyumnya tidak pernah kulupakan.
Senyum terakhir yang aku rekam dalam otakku saat aku mengantarnya berbaring di
kegelapan kubur. Ketika satu persatu tanah dimasukkan ke liangnya, istrinya
terduduk ditanah dengan tangis yang tertahan.
Aku
merasa itu tangis kegembiraan karena ia berhasil mengumpulkan poin amal
sebanyak2nya yang dikirimkan Tuhan kepadanya.
Ah,
aku baru teringat. Temanku dan istrinya mengambil sudut pandang akhirat dalam
membaca peristiwa mereka, berbanding terbalik dengan banyak orang yang
mengambil sudut pandang dunia sehingga mereka menganggapnya sebuah musibah.
Selamat
jalan, sahabatku.. Di perjallanan kedua nanti, semoga engkau sudah menyiapkanku
secangkir kopi untuk menemani kita bercerita.
"Dunia adalah tempat amal tanpa perhitungan, dan akhirat adalah tempat perhitungan tanpa amal" - Imam Ali as.
Sunday, February 28, 2016
Ada Apa Akhir Minggu ini?
Saya sudah pernah menyebutkan di tulisan saya sebelumnya,
bahwa saya selalu tertarik dengan non WNI yang antusias terhadap kota Surabaya.
Dan kemudian saya bertemu dengan seorang WN Portugis, yang
sudah 3 tahun ini tinggal dan bekerja di Singapura. Namanya Filipe (bukan….bukan
merk lampu :p ).
Filipe (sisi kiri foto) Yang di sisi kanan sih....saya :p |
Nah, saya cukup surprised ketika pertama kali bertemu dia.
Awalnya ngobrol biasa tentang pekerjaan (dia adalah seorang landscape architect
di salah satu proyek kantor) dan kemudian malah beralih tentang Pramoedya
Ananta Toer.
Pram? Yup, ternyata dia adalah seorang penggemar karya Pram
juga (yippie!). Cukup gelagapan juga ketika dia langsung membuat trivia tentang
tokoh-tokoh di dalam buku tersebut.
Iyalah, masa tiba-tiba ditodong tentang siapa nama tokoh dari Madura yang menjadi pengawal Nyai?
Well, dan ternyata pembicaraan berlanjut saat dia sudah
kembali ke Singapura.
Mulai dari tentang Pram, kota Surabaya, ibu Risma, Tolak Angin (!), bahkan
ketika dia tahu bahwa saya meneliti tentang Peneleh untuk tugas akhir, dia
langsung mencari tahu apa itu Peneleh dan membaginya di akun Facebooknya.
Hahh, baru sekali ini sepertinya bertemu bule yang superantusias dan punya rasa ingin tahu yang superbesar. Hehehehe.
Dan sebenarnya, hari Jumat ini (26/2) dia akan ke Surabaya
untuk urusan pekerjaan (iya, terkait pekerjaan di kantor saya), dan rencananya
akan menghabiskan akhir minggu di kota ini. Sebagai host yang baik, tentu saya
akan menemani berkeliling kota (fyi, dia sedikit terobsesi dengan Madura, lol
).
Kebetulan juga program Manic Street Walker-nya C2O Library diadakan di hari
Minggu (28/02) dengan rute Ujung-Kamal. Ini hal yang langka juga, karena
biasanya Manic Street Walker diadakan di hari kerja, bukan akhir minggu.
Namun ternyata, rencana tersebut ditunda hingga pertengahan Maret karena
keberangkatan direksi saya yang dipercepat sehingga tidak memungkinkan untuk
mengikuti presentasi tersebut.
Ya sudah, rasanya blessing in disguise juga sih. Habisnya,
informasi kedatangannya cukup mendadak, H-2. Padahal, saya sedang merasa kurang
sehat beberapa hari terakhir ini. Apalagi kalau nge-host, wah mungkin bisa
tepar hehehe.
Dan lagi, saya bisa menyiapkan itinerary lebih baik lagi,
sehingga waktu tidak terbuang sia-sia, hehe.
Nanti, saya akan share juga tentang itinerary dan pengalaman
city tour (insyaAllah) di blog ini.
Ada saran sebaiknya mengunjungi mana saja?
PS :
Karena di Singapura dia tidak menemukan tetralogi pulau Buru-nya
Pram jilid 3 & 4 (English version), maka saya berinisiatif mencarinya di
Periplus. Dan saya baru tahu bahwa saya bisa melakukan pembelian online di www.periplus.com , dan Alhamdulillah tersedia. Jika ada literatur yang tidak tersedia di store, mungkin bisa cek di situs tersebut :)
PS lagi :
Jika ada yang tertarik untuk mengikuti city tour ala-ala di kesempatan berikutnya, feel free to ask :)
Thursday, February 18, 2016
Memahami, bukan menghakimi
Ketika melihat orangtua yang tampak renta sedang duduk
berjualan di pinggir jalan, apa kira-kira yang ada di benak orang yang
melintas?
“ Duh, kasihan ya.”
“Anaknya gimana, sih, orangtua kok bukannya dirawat malah dibiarin jualan di jalan.”
Dan lain-lain.
Berkomentar yang berlanjut dengan menghakimi. Pernahkah,
atau seringkah, kita melakukannya?
Saya? Oh, jelas pernah. Menghakimi tidak perlu berpikir
panjang. Tidak perlu analisa terlalu dalam. Cukup melihat, atau membaca, atau
mendengar. Kemudian, meluncurlah kalimat-kalimat penghakiman. Setelahnya, ya
lupa. Atau menjadi ‘stigma’ di mata saya terhadap hal-hal serupa.
Hanya saja, seiring dengan proses hidup yang semakin lama
semakin dewasa (kalau tidak ingin disebut, ehem, tua :p ), saya semakin
menyadari bahwa ada banyak alasan di balik terjadinya suatu kejadian. Beda
orang, beda alasan. Apakah yang satu benar dan yang lain salah? Tidak juga.
Pengalaman pribadi, lagi-lagi didapat setelah peristiwa
berharga di keluarga.
Juni 213, Bapak yang saat itu menetap di Jakarta, ditemukan
tidak sadarkan diri dengan pendarahan di mulut, hidung, telinga. Alhamdulillah,
Tuhan masih berkehendak beliau tetap hidup setelah mengalami koma cukup lama.
Masa-masa mendampingi Bapak selama perawatan (1 bulan di
ICU, 2 bulan di rawat inap) di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, kami sekeluarga lewati dengan penuh perjuangan.
Lahir-batin. Jasmani-rohani. Emosi-materi.
Bagaimana tidak. Saat itu saya dan kakak tinggal dan bekerja
di Surabaya. Dua adik sedang menempuh kuliah di Malang dan Surabaya. Sedangkan
Ibu mobile, dari satu kota ke kota lain untuk mendampingi kami semua,
bergantian.
Otomatis kami harus bisa mengatur jadwal, di samping
mengatur pengeluaran dan juga menata pikiran. Dan satu hal yang bisa
menggerakan kami menempuh semua kesulitan itu adalah : karena kami sayang
beliau, dan kami ingin yang terbaik untuk orangtua kami.
Hanya saja, the nyinyirs is everywhere. Hehe.
Menyerbu tanpa kami minta, tanpa bertanya pada kami, tanpa
melihat perjuangan kami.
“Makanya, kesehatan bapaknya dijaga, udah tau darah tinggi”
“Haduh, saya sudah umur segini masih sehat. Makanya, pola makan dijaga dong”
Ehm. Bapak-Ibu. Sudah tahu belum kalau selama ini, kami
selalu menjaga Bapak dari emosi berlebihan, walaupun ada hal-hal yang harus
kami korbankan? Atau Bapak yang pantang makan makanan pemicu darah tinggi? Atau
Bapak yang selama ini rajin berolahraga, setiap hari? Atau bahkan Ibu, yang
rela tidak bersosialisasi dengan teman-temannya, demi untuk bisa mendampingi
kami semua?
Tolong deh,Bapak-Ibu. Doa jauh lebih berharga dibanding komentar
nyinyir. Perhatian terhadap kami, yang
siang-malam menjaga Bapak, jauh lebih bermanfaat dibanding buah tangan yang
diiringi hati kotor.
And it was just the beginning.
Ternyata, walaupun Bapak sudah melewati masa kritis dan bisa
melanjutkan perawatan di rumah, komentator tetap ada, dengan cara yang lain. Hingga sekarang, tangan kiri beliau masih tidak dapat
digerakkan.
Kata mereka,
“kok masih kayak gitu? Ga pernah dilatih ya sama keluarganya?”
“Ibu / adek-adek, bapaknya itu dirawat, disenengin.”
“Masak nganterin ke pengobatan alternatif A/B ga mau? Buat orangtua itu harus ikhlas”
Ehm lagi. Bapak-Ibu. Sudah tahu belum bahwa selama ini kami
selalu menyediakan waktu, tenaga, perhatian, dan materi untuk pengobatan? Sudah
pernah merasakan ketar-ketir ketika ada informasi tentang pengobatan apapun
itu, Bapak langsung minta mencoba, tanpa tahu apakah ada dana/waktu/tenaga yang
cukup? Atau tentang bagaimana kami, yang anda lihat sehat-sehat saja, harus
bisa berkorban perasaan demi menjaga emosi Bapak supaya tidak kambuh?
Dan saya yakin, di setiap masa selalu ada the nyinyirs.
Hmm. Saat ini, kami sudah cukup baik dalam mengatasi
komentar-komentar menghakimi semacam itu. Sebuah pelajaran juga sebenarnya.
Bahwa jangan pernah menghakimi tanpa memahami.
Pahami dulu. Gunakan empati. Barulah silakan berkomentar.
Lebih baik lagi, memahami tanpa menghakimi.
DO NOT EVER judge something that you don’t even know WHY does it happen.Everybody has their own problems, and not everyone tells you about it. Respect it.
Tuesday, February 16, 2016
"Mau ke mana? Dari mana?"
Hari Senin, 15 Februari lalu, saya dan adik mengikuti sebuah
acara diskusi. Yah, bukan acara formal, tapi lebih seperti (orang Surabaya bilang) cangkrukan di C2O
Library.
Acara ini menghadirkan prof. Howard Dick, seorang akademisi
dari University of Melbourne yang menulis buku “Surabaya, City of Work”.
Apakah
saya sudah membaca buku itu?
Jawabannya, belum. Lha wong sebelumnya malah saya tidak
pernah mendengar ada buku tersebut, hehehe.
“Lalu apa yang membuat saya tertarik? “
Hm. Saya suka sejarah. Saya suka ilmu perkotaan. Saya suka
Surabaya. Dan saya selaaaaluuuu tertarik apabila ada non WNI yang begitu
antusias terhadap kota Surabaya.
“Apa sih yang mereka lihat dari kami, warga Surabaya, dan kota kami itu sendiri?”
Tapi, suka di sini bukan berarti menjadi obsesif. Yah,
(masih) sebatas suka saja. Yang kadang antusias, kadang tidak tertarik. Anyway,
pada dasarnya memang saya sudah berniat untuk datang, ya sudah, saya berangkat
ke lokasi setelah sholat Maghrib di kantor.
Untuk pertama kalinya saya mengunjungi C2O Library di lokasi
barunya, yang hanya bergeser 1 rumah dari lokasi sebelumnya, yaitu jl. Dr.
Cipto 22. Untuk menuju ke sini, bisa melewati jl. Dr. Sutomo arah Darmo, belok
kiri terakhir sebelum tikungan ke jl. Darmo, itulah jl. Dr. Cipto. Karena saya
sersan (setir santai) dari kantor di gedung Spazio, saya tiba di sana sekitar
pukul 18.45.
Tiba di sana, saya sapa kanan-kiri, basa-basi sedikit (saya
kenal dengan beberapa pengelola C2O Library, btw), dan melihat-lihat sejenak
buku dan koleksi CD di sana. Tak lama, acara mulai pkl 19.00, sekitar setengah
jam mundur dari jadwal.
Kesan pertama melihat prof. Howard, beliau seperti dosen
saya, prof. Johan Silas. Beliau berusia sekitar 60-70 tahun, terlihat
bersahaja, dan ramah. Dan seperti sudah saya duga, dalam meneliti Surabaya,
beliau juga banyak berguru dengan prof. Johan Silas. Ah, memang pak Silas
benar-benar pakar tata kota kelas internasional yang panjang umur (just info, ibu beliau dikenal sebagai salah satu
centurian kota Surabaya. So, it’s on his blood, actually). Informasi yang out
of topic, hehe :p
Awalnya, pak Howard memulai dengan bahasa Indonesia yang
sedikit membingungkan tatabahasanya. Maklum, sudah 10 tahun berlalu sejak
terakhir beliau ke Indonesia. Tapi lambat laun, saya tertarik dengan bagaimana
beliau bercerita dengan semangat, tentang apa yang beliau lihat dan amati dari
Surabaya, dulu dan sekarang. Bagaimana Surabaya, sebagai kota perdagangan, kota
besar, berada di situasi antara mempertahankan sisi historis, dan mengikuti
perkembangan jaman, terutama terkait dengan kebutuhan masyarakat dan kapitalis.
Saya tidak ingin menuliskan ringkasan cerita pak Howard
(karena akan terlalu panjang), namun saya ingin berbagi tentang kesan saya
terhadap beliau, suasana cangkrukan, dan apa pengaruhnya terhadap saya.
Beliau sangat humble. Mengutip perkataan adik saya, sebagai profesor,
beliau bisa diibaratkan saat itu mengosongkan gelasnya, dan segala pertanyaan,
pendapat, dari audiens menjadi air yang mengisinya hingga penuh. Jadi, suasana
sangat menyenangkan. Tidak ada yang lebih pintar, lebih ahli, atau menggurui.
Hingga waktu 2 jam berlalu. Pukul 21.00 juga waktunya C2O
Library tutup. Di akhir acara, beliau mendatangi saya dan menyampaikan
apresiasinya terhadap pertanyaan dari saya (saya sempat bertanya menjelang
akhir acara). Itu juga sebuah pelajaran bagi saya. Bagaimana mengapresiasi rasa
ingin tahu seseorang, sekalipun itu hal yang remeh, sebenarnya. Saya sampaikan
pula bahwa saya memiliki beberapa data terkait perkembangan terakhir Surabaya,
dan akan saya kirimkan via email kepada beliau.
Hm. Saya bersyukur menyempatkan diri untuk hadir. Sepertinya
sedikit lebay ya hehehehe.
Tapi kapan lagi bisa berdiskusi santai dengan seorang professor
dari Australia tentang topic yang saya minati?
So next time, if there’s any chance to be involved in everything you like, just do it ;)
NB :
Sayang sekali saya tidak mengambil gambar satupun saat
cangkrukan. Mungkin lupa saking terbawa dengan alur acara, hehe.
NB lagi :
Jika ada di antara pembaca post ini (kalau ada, sih, hehe)
yang tertarik untuk mengikuti kegiatan di C2O Library, boleh kontak saya, siapa
tahu bisa berkegiatan bersama. Akan lebih menyenangkan apabila ada teman yang
seminat, kan?
Saturday, February 13, 2016
Jenuh
Sebagai seorang-berusia-28-tahun (hingga tulisan ini dibuat) yang bekerja kantoran,
dengan jadwal bekerja yang (as usual) mengikuti standar di masyarakat, tentu
saya pernah (dan cukup sering) merasakan sesuatu yang disebut dengan….jenuh.
Yah, jenuh adalah kata umum, dengan banyaaaaaaaakkkk arti
dan penyebab.
Buat saya, jenuh adalah ketika otak sulit merespon, entah
pekerjaan ataupun aktivitas, yang ada di sekitar. Kok bisa? Entahlah. Orang
bilang, jenuh karena beban pikiran yang overload. Ada yang berpendapat, butuh
liburan sejenak. Yang lain berkata, (sudah waktunya) butuh pendamping hidup!
Haha. Pada level tertentu, mereka benar. Terlalu banyak
pikiran. Sudah waktunya jalan-jalan. Butuh pendamping untuk saling berbagi.
Tapi bukan berarti mudah untuk mengatasinya.
Banyak pikiran? Jelas.
Saya menyukai pekerjaan kantoran saya. Sungguh. Banyak
sekali manfaat yang saya rasakan. Hanya saja, sebulan terakhir memang ada
rotasi besar-besaran di kantor, sehingga ada beban pekerjaan di divisi saya
yang (terpaksa) harus dilimpahkan ke saya sementara rekan yang sebelumnya
bertanggung jawab terhadap pekerjaan tersebut, dipindahkan ke divisi lain.
Sementara, deadline tidak pernah menunggu.
“Cari kesibukan lain, lah. Jangan urusin kerjaan aja!”
Seperti saya sampaikan di profil saya, I love sewing! Sangat
suka. Di sela-sela waktu luang, selalu saya sempatkan untuk berkutat dengan
materi jahit. Sambil bermimpi suatu saat akan benar-benar membuat label sendiri
(lihat aarafactory.blogspot.co.id ).
Kegiatan lain, berenang, berburu buku (komik, mostly :p ),
atau menulis. Ah, dan diskusi tentang buku, atau tentang heritage / history.
Kegiatan yang bisa saya lakukan….sendirian. Sedikit dilema juga
sebenarnya. Karena saya ingin ditemani, tapi tidak ingin bersama orang-orang
yang (biasanya) ada di sekitar saya. Yah, sebagai extroverted introvert, saya
lebih memilih bersama orang yang sangat memahami saya (baca : pasangan )
daripada bersama teman-teman. Hanya saja, saat ini saya sedang, ehem, single.
Maka rasanya, jenuh ini masih saja terasa.
“Kok bingung? Pergi liburan saja!”
Tidak segampang mengucapkannya. Walaupun secara penghasilan,
(seharusnya) saya bisa memenuhi kebutuhan tersier seperti liburan dengan cukup
mudah, tapi tunggu dulu. Itu adalah asumsi kalau 100% penghasilan adalah untuk
saya pribadi.
Tapi tidak. Sebagai anak tertua yang belum menikah (kakak satu-satunya
sudah menikah 4 tahun lalu, fyi), saya bertanggung jawab untuk memenuhi
sebagian kebutuhan keluarga.
Bukan terpaksa, bukan dipaksa. Murni keinginan saya.
Saya tidak setega itu untuk bersikap masa bodoh dengan
kondisi keluarga yang perlu penyesuaian pasca Bapak terserang stroke 2 tahun
lalu. Saya yakin, anak lain juga akan memilih jalan yang sama, jika mengalami
hal serupa.
That’s why, saya tidak bisa semudah itu untuk mengalokasikan
dana untuk jalan-jalan dalam jumlah cukup besar. Paling-paling, saya baru bisa
mengalokasikan waktu setidaknya 1-2 tahun sekali untuk jalan-jalan ke luar
negeri. Tapi tidak masalah. Toh, di dalam/luar kota pun, masih bisa liburan
kan?
Iya…..sampai titik tertentu.
Titik di mana ketika semua kejenuhan butuh diceritakan.
Butuh dibagi. Butuh untuk didengarkan.
Iya, sepertinya sudah waktunya untuk memiliki pasangan hidup
yang sebenarnya.
Sounds cheesy, right?
Tapi jujur deh, bukankah pasangan yang TEPAT adalah
jawabannya?
Saya tidak sedang meracau tentang cinta-cintaan semata. Yang
saya bicarakan adalah tentang bagaimana saya butuh seseorang yang bisa saling memahami
dan mendampingi, dalam segala kondisi.
Jujur saja, peristiwa sakitnya Bapak telah menunjukkan
bagaimana orang bisa berubah apabila dihadapkan pada kondisi yang tidak baik.
Bagaimana seseorang memilih untuk pergi di saat saya masih butuh didampingi dan
dikuatkan. Ah, jadi baper kan :p
Yah apa yang sudah berlalu memang tidak perlu diingat
apalagi diharap. Tapi, sungguh sebuah pelajaran berharga. That’s why, hingga
saat ini mungkin orang cenderung heran melihat saya belum 'berjalan' bersama yang lain
setelah itu.
Bukan, bukan saya pemilih. Tapi, saya takut. Saya takut
sakit hati lagi. Saya takut ditinggalkan lagi karena kondisi saya dan keluarga.
Saya takut orang lain over-ekspektasi terhadap seorang SAYA. Dan bahkan saat
ini, ketika saya mulai dekat dengan seseorang di luar sana, saya kembali
merasakan ketakutan itu. Untung saja, kami memiliki banyak perbedaan yang,
yah, cukup sulit untuk disatukan. Jadi kalaupun tidak berhasil, ya sudah tidak
masalah.
Dan pada akhirnya, saya sadar bahwa hal ini jugalah yang
membuat saya memendam sendiri kejenuhan saya. Sampai kapan?
Entahlah. Mungkin sampai saya tidak lagi…..jenuh.
NB : tidak berarti saya tidak berusaha. Ataupun berdoa dan
berserah pada-Nya. Saya percaya kejenuhan inipun adalah bagian dari rencana-Nya.
Hanya saja, boleh kan sedikit berbagi tentang hal ini di blog? ;)
Hello!
This is my very first post on my personal blog.
So…. Hello!
I am an Indonesian, also live in Indonesia for 28 years, so
far. Yes, I have no idea about living abroad, yet.
Have a passion in sewing, and made a blog about that. Please
visit aarafactory.blogspot.co.id if you wanna know more about that.
And this blog, will be my open diary about my daily life,
random activities, and other little things on my mind. I’ll write it in Bahasa
and English, but mostly in Bahasa since that’s my mother tounge, hehe.
Will be updated as soon as it should be a.k.a depends on my current mood :p
Subscribe to:
Posts (Atom)