Sebuah tulisan yang saya
ambil dari akun Facebook Denny Siregar.
Sebuah tulisan yang persis
menyampaikan apa yang saya lihat dari kedua orangtua saya. Bukan sesederhana
kata 'I love you' atau peluk-cium semata.
Tapi sebuah bentuk
penerimaan luar biasa terhadap segala bentuk kekurangan pasangan dan
ujian-ujian yang dilalui bersama. Tidak selalu indah dan mudah, karena hal-hal yang mengecewakan pun (pastinya) kerap terjadi. Dan kebahagiaan
atas kondisi 'saling menerima' itupun tidak selalu terlihat oleh orang lain. Jangan lupa, bahwa orang lain lebih suka melihat apa yang ingin mereka lihat, bukan apa yang benar-benar tersirat dan tersurat.
Dan pengalaman dari hubungan terakhir saya mengajarkan bahwa 'penerimaan' itu bukan hal yang bisa diminta dari pasangan. Tetapi itu adalah kesadaran pribadi dari seseorang untuk melakukannya. Jika hanya salah satu saja yang melakukan, maka tidak akan bisa berjalan. Walaupun dengan berton-ton kata 'i love you' yang diberikan.
Semoga, ketika suatu saat
saya ditakdirkan untuk hidup bersama seseorang (entah siapa, di mana, dan
dengan cara apa kami dipertemukan), maka kami telah siap, bersedia, dan ikhlas
dalam menerima kekurangan masing-masing dan menjalani hidup (baik nikmat maupun
ujian) dengan bahagia, bersama-sama.
Bukankah tujuan hidup sebenarnya adalah untuk berbahagia dan membahagiakan orang tersayang?
Yah, setidaknya, bagi saya :)
Monggo dinikmati, berikut
tulisan beliau.
KETIKA TUHAN MENGANTARKAN
PAKET AMAL DI HADAPANMU..
by : Denny Siregar
"Kasihan
dia sekarang.."
"Kenapa
?"
"Ibunya stroke sejak 7 tahun lalu. Dia anak satu2nya. Istrinya minta cerai
karena tidak mau mengurus mertuanya. Anaknya satu, masih kecil. Dia terpaksa
keluar dari kerjaan karena mengurus ibunya dan anaknya. Duh, kasihan-lah
pokoknya...."
Kutatap
wajah temanku. Ada guratan keprihatinan di wajahnya membayangkan kehidupan
temannya. Dia merasa sangat bersyukur dengan hidupnya yang lebih baik. Aku
tersenyum.
Terbayang
ketika aku berkunjung ke seorang sahabat yang terkena kanker stadium akhir. Dia
sudah tidak bisa bangun dari tempat tidurnya. Tubuhnya kurus tinggal tulang.
Anehnya, wajahnya ceria. Senyumnya terus mengembang.
Aku
duduk disampingnya, memegang tangannya dengan jari2 yang kurus. Kami pernah
melewati "masa gila" bersama. Masa ketika rasa takut itu bukan
menjadi bagian dari diri kami. Masa ketika kami sama sekali tidak berfikir.
"Kamu
tahu, den.." Katanya lemah. "Banyak orang yang memandang kasihan
padaku. Mereka menganggap apa yang aku alami adalah musibah. Kata-kata mereka
mencoba menghiburku. Tapi apa yang harus dihibur ? Aku sedang gembira..."
Aku
tersenyum. Begitulah sahabatku. Sisi pandangnya selalu menarik untuk disimak.
"Tidak
banyak orang tahu, bahwa sakit, kemiskinan, kepedihan, kesulitan adalah cara
Tuhan untuk mengikis dosa2 yg selama ini kita lakukan. Seandainya mereka tahu,
bahwa penyakit itu adaah anugerah, maka mereka tentu menyambutnya dengan
gembira.
Bayangkan,
dosa2 dikikis di dunia supaya ringan siksa kita di alam kubur nanti, yang kita
tidak bisa membayangkan seberapa keras tekanannya. Betapa mulyanya. Tentu saja
aku menjadi gembira. Kamu belum tentu semulya aku sekarang, karena pengikisan
dosaku jauh lebih cepat dari kamu... "
Aku
tersenyum. Berat rasanya kelopak mataku. Ada embun yang menggantung disana.
Bukan karena sedih, bukan. Karena aku sangat kagum akan cara pandangnya dengan
dasar ilmu yang kuat.
"Dan
dia..." Temanku memandang ke istrinya yang tersenyum di pojok kamar meihat
kami berdua ngobrol bersama. "Dia paham, bahwa aku adalah ladang amal-nya
yang harus dia jemput. Aku adalah poin2, bonus yang dia kumpulkan untuk bekal
perjalanan dia di alam kubur nantinya. Kesabaran dan keikhlasan dia merawatku
menjadi penyelamat dia nantinya. Tuhan memberiku sakit sebagai pengikis dosaku,
dan Tuhan mengirimkan aku dalam kondisi sakit kepada istriku sebagai
"paket amal" yang diantarkan langsung ke depannya untuk dia
kumpulkan..."
Temanku
menoleh kepadaku. "Hebat, bukan ?" Senyumnya tidak pernah kulupakan.
Senyum terakhir yang aku rekam dalam otakku saat aku mengantarnya berbaring di
kegelapan kubur. Ketika satu persatu tanah dimasukkan ke liangnya, istrinya
terduduk ditanah dengan tangis yang tertahan.
Aku
merasa itu tangis kegembiraan karena ia berhasil mengumpulkan poin amal
sebanyak2nya yang dikirimkan Tuhan kepadanya.
Ah,
aku baru teringat. Temanku dan istrinya mengambil sudut pandang akhirat dalam
membaca peristiwa mereka, berbanding terbalik dengan banyak orang yang
mengambil sudut pandang dunia sehingga mereka menganggapnya sebuah musibah.
Selamat
jalan, sahabatku.. Di perjallanan kedua nanti, semoga engkau sudah menyiapkanku
secangkir kopi untuk menemani kita bercerita.
"Dunia adalah tempat amal tanpa perhitungan, dan akhirat adalah tempat perhitungan tanpa amal" - Imam Ali as.
No comments:
Post a Comment