Wednesday, March 2, 2016

UNTITLED

Sebuah tulisan yang saya ambil dari akun Facebook Denny Siregar.

Sebuah tulisan yang persis menyampaikan apa yang saya lihat dari kedua orangtua saya. Bukan sesederhana kata 'I love you' atau peluk-cium semata.
Tapi sebuah bentuk penerimaan luar biasa terhadap segala bentuk kekurangan pasangan dan ujian-ujian yang dilalui bersama. Tidak selalu indah dan mudah, karena hal-hal yang mengecewakan pun (pastinya) kerap terjadi. Dan kebahagiaan atas kondisi 'saling menerima' itupun tidak selalu terlihat oleh orang lain. Jangan lupa, bahwa orang lain lebih suka melihat apa yang ingin mereka lihat, bukan apa yang benar-benar tersirat dan tersurat.

Dan pengalaman dari hubungan terakhir saya mengajarkan bahwa 'penerimaan' itu bukan hal yang bisa diminta dari pasangan. Tetapi itu adalah kesadaran pribadi dari seseorang untuk melakukannya. Jika hanya salah satu saja yang melakukan, maka tidak akan bisa berjalan. Walaupun dengan berton-ton kata 'i love you' yang diberikan.

Semoga, ketika suatu saat saya ditakdirkan untuk hidup bersama seseorang (entah siapa, di mana, dan dengan cara apa kami dipertemukan), maka kami telah siap, bersedia, dan ikhlas dalam menerima kekurangan masing-masing dan menjalani hidup (baik nikmat maupun ujian) dengan bahagia, bersama-sama.
Bukankah tujuan hidup sebenarnya adalah untuk berbahagia dan membahagiakan orang tersayang?
Yah, setidaknya, bagi saya :)

Monggo dinikmati, berikut tulisan beliau.

KETIKA TUHAN MENGANTARKAN PAKET AMAL DI HADAPANMU..
by : Denny Siregar

"Kasihan dia sekarang.."
"Kenapa ?"


"Ibunya stroke sejak 7 tahun lalu. Dia anak satu2nya. Istrinya minta cerai karena tidak mau mengurus mertuanya. Anaknya satu, masih kecil. Dia terpaksa keluar dari kerjaan karena mengurus ibunya dan anaknya. Duh, kasihan-lah pokoknya...."


Kutatap wajah temanku. Ada guratan keprihatinan di wajahnya membayangkan kehidupan temannya. Dia merasa sangat bersyukur dengan hidupnya yang lebih baik. Aku tersenyum.

Terbayang ketika aku berkunjung ke seorang sahabat yang terkena kanker stadium akhir. Dia sudah tidak bisa bangun dari tempat tidurnya. Tubuhnya kurus tinggal tulang. Anehnya, wajahnya ceria. Senyumnya terus mengembang.

Aku duduk disampingnya, memegang tangannya dengan jari2 yang kurus. Kami pernah melewati "masa gila" bersama. Masa ketika rasa takut itu bukan menjadi bagian dari diri kami. Masa ketika kami sama sekali tidak berfikir.

"Kamu tahu, den.." Katanya lemah. "Banyak orang yang memandang kasihan padaku. Mereka menganggap apa yang aku alami adalah musibah. Kata-kata mereka mencoba menghiburku. Tapi apa yang harus dihibur ? Aku sedang gembira..."

Aku tersenyum. Begitulah sahabatku. Sisi pandangnya selalu menarik untuk disimak.

"Tidak banyak orang tahu, bahwa sakit, kemiskinan, kepedihan, kesulitan adalah cara Tuhan untuk mengikis dosa2 yg selama ini kita lakukan. Seandainya mereka tahu, bahwa penyakit itu adaah anugerah, maka mereka tentu menyambutnya dengan gembira.

Bayangkan, dosa2 dikikis di dunia supaya ringan siksa kita di alam kubur nanti, yang kita tidak bisa membayangkan seberapa keras tekanannya. Betapa mulyanya. Tentu saja aku menjadi gembira. Kamu belum tentu semulya aku sekarang, karena pengikisan dosaku jauh lebih cepat dari kamu... "

Aku tersenyum. Berat rasanya kelopak mataku. Ada embun yang menggantung disana. Bukan karena sedih, bukan. Karena aku sangat kagum akan cara pandangnya dengan dasar ilmu yang kuat.

"Dan dia..." Temanku memandang ke istrinya yang tersenyum di pojok kamar meihat kami berdua ngobrol bersama. "Dia paham, bahwa aku adalah ladang amal-nya yang harus dia jemput. Aku adalah poin2, bonus yang dia kumpulkan untuk bekal perjalanan dia di alam kubur nantinya. Kesabaran dan keikhlasan dia merawatku menjadi penyelamat dia nantinya. Tuhan memberiku sakit sebagai pengikis dosaku, dan Tuhan mengirimkan aku dalam kondisi sakit kepada istriku sebagai "paket amal" yang diantarkan langsung ke depannya untuk dia kumpulkan..."

Temanku menoleh kepadaku. "Hebat, bukan ?" Senyumnya tidak pernah kulupakan. Senyum terakhir yang aku rekam dalam otakku saat aku mengantarnya berbaring di kegelapan kubur. Ketika satu persatu tanah dimasukkan ke liangnya, istrinya terduduk ditanah dengan tangis yang tertahan.

Aku merasa itu tangis kegembiraan karena ia berhasil mengumpulkan poin amal sebanyak2nya yang dikirimkan Tuhan kepadanya.

Ah, aku baru teringat. Temanku dan istrinya mengambil sudut pandang akhirat dalam membaca peristiwa mereka, berbanding terbalik dengan banyak orang yang mengambil sudut pandang dunia sehingga mereka menganggapnya sebuah musibah.

Selamat jalan, sahabatku.. Di perjallanan kedua nanti, semoga engkau sudah menyiapkanku secangkir kopi untuk menemani kita bercerita.

"Dunia adalah tempat amal tanpa perhitungan, dan akhirat adalah tempat perhitungan tanpa amal" - Imam Ali as.


No comments:

Post a Comment