Sunday, February 28, 2016

Ada Apa Akhir Minggu ini?

Saya sudah pernah menyebutkan di tulisan saya sebelumnya, bahwa saya selalu tertarik dengan non WNI yang antusias terhadap kota Surabaya.
Dan kemudian saya bertemu dengan seorang WN Portugis, yang sudah 3 tahun ini tinggal dan bekerja di Singapura. Namanya Filipe (bukan….bukan merk lampu :p ).

Filipe (sisi kiri foto)
 Yang di sisi kanan sih....saya :p
Nah, saya cukup surprised ketika pertama kali bertemu dia. Awalnya ngobrol biasa tentang pekerjaan (dia adalah seorang landscape architect di salah satu proyek kantor) dan kemudian malah beralih tentang Pramoedya Ananta Toer.
Pram? Yup, ternyata dia adalah seorang penggemar karya Pram juga (yippie!). Cukup gelagapan juga ketika dia langsung membuat trivia tentang tokoh-tokoh di dalam buku tersebut.
 Iyalah, masa tiba-tiba ditodong tentang siapa nama tokoh dari Madura yang menjadi pengawal Nyai?
Well, dan ternyata pembicaraan berlanjut saat dia sudah kembali ke Singapura.
Mulai dari tentang Pram, kota Surabaya, ibu Risma, Tolak Angin (!), bahkan ketika dia tahu bahwa saya meneliti tentang Peneleh untuk tugas akhir, dia langsung mencari tahu apa itu Peneleh dan membaginya di akun Facebooknya.

Hahh, baru sekali ini sepertinya bertemu bule yang superantusias dan punya rasa ingin tahu yang superbesar. Hehehehe.
Dan sebenarnya, hari Jumat ini (26/2) dia akan ke Surabaya untuk urusan pekerjaan (iya, terkait pekerjaan di kantor saya), dan rencananya akan menghabiskan akhir minggu di kota ini. Sebagai host yang baik, tentu saya akan menemani berkeliling kota (fyi, dia sedikit terobsesi dengan Madura, lol ). 
Kebetulan juga program Manic Street Walker-nya C2O Library diadakan di hari Minggu (28/02) dengan rute Ujung-Kamal. Ini hal yang langka juga, karena biasanya Manic Street Walker diadakan di hari kerja, bukan akhir minggu.

Namun ternyata, rencana tersebut ditunda hingga pertengahan Maret karena keberangkatan direksi saya yang dipercepat sehingga tidak memungkinkan untuk mengikuti presentasi tersebut.
Ya sudah, rasanya blessing in disguise juga sih. Habisnya, informasi kedatangannya cukup mendadak, H-2. Padahal, saya sedang merasa kurang sehat beberapa hari terakhir ini. Apalagi kalau nge-host, wah mungkin bisa tepar hehehe.
Dan lagi, saya bisa menyiapkan itinerary lebih baik lagi, sehingga waktu tidak terbuang sia-sia, hehe.

Nanti, saya akan share juga tentang itinerary dan pengalaman city tour (insyaAllah) di blog ini.

Ada saran sebaiknya mengunjungi mana saja?


PS :
Karena di Singapura dia tidak menemukan tetralogi pulau Buru-nya Pram jilid 3 & 4 (English version), maka saya berinisiatif mencarinya di Periplus. Dan saya baru tahu bahwa saya bisa melakukan pembelian online di www.periplus.com , dan Alhamdulillah tersedia. Jika ada literatur yang tidak tersedia di store, mungkin bisa cek di situs tersebut :)

PS lagi :
Jika ada yang tertarik untuk mengikuti city tour ala-ala di kesempatan berikutnya, feel free to ask :)


Thursday, February 18, 2016

Memahami, bukan menghakimi

Ketika melihat orangtua yang tampak renta sedang duduk berjualan di pinggir jalan, apa kira-kira yang ada di benak orang yang melintas?
“ Duh, kasihan ya.”
“Anaknya gimana, sih, orangtua kok bukannya dirawat malah dibiarin jualan di jalan.”
Dan lain-lain.
Berkomentar yang berlanjut dengan menghakimi. Pernahkah, atau seringkah, kita melakukannya?

Saya? Oh, jelas pernah. Menghakimi tidak perlu berpikir panjang. Tidak perlu analisa terlalu dalam. Cukup melihat, atau membaca, atau mendengar. Kemudian, meluncurlah kalimat-kalimat penghakiman. Setelahnya, ya lupa. Atau menjadi ‘stigma’ di mata saya terhadap hal-hal serupa.

Hanya saja, seiring dengan proses hidup yang semakin lama semakin dewasa (kalau tidak ingin disebut, ehem, tua :p ), saya semakin menyadari bahwa ada banyak alasan di balik terjadinya suatu kejadian. Beda orang, beda alasan. Apakah yang satu benar dan yang lain salah? Tidak juga.

Pengalaman pribadi, lagi-lagi didapat setelah peristiwa berharga di keluarga.

Juni 213, Bapak yang saat itu menetap di Jakarta, ditemukan tidak sadarkan diri dengan pendarahan di mulut, hidung, telinga. Alhamdulillah, Tuhan masih berkehendak beliau tetap hidup setelah mengalami koma cukup lama.
Masa-masa mendampingi Bapak selama perawatan (1 bulan di ICU, 2 bulan di rawat inap) di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta,  kami sekeluarga lewati dengan penuh perjuangan. Lahir-batin. Jasmani-rohani. Emosi-materi.

Bagaimana tidak. Saat itu saya dan kakak tinggal dan bekerja di Surabaya. Dua adik sedang menempuh kuliah di Malang dan Surabaya. Sedangkan Ibu mobile, dari satu kota ke kota lain untuk mendampingi kami semua, bergantian.

Otomatis kami harus bisa mengatur jadwal, di samping mengatur pengeluaran dan juga menata pikiran. Dan satu hal yang bisa menggerakan kami menempuh semua kesulitan itu adalah : karena kami sayang beliau, dan kami ingin yang terbaik untuk orangtua kami.

Hanya saja, the nyinyirs is everywhere. Hehe.

Menyerbu tanpa kami minta, tanpa bertanya pada kami, tanpa melihat perjuangan kami.

“Makanya, kesehatan bapaknya dijaga, udah tau darah tinggi”
“Haduh, saya sudah umur segini masih sehat. Makanya, pola makan dijaga dong”

Ehm. Bapak-Ibu. Sudah tahu belum kalau selama ini, kami selalu menjaga Bapak dari emosi berlebihan, walaupun ada hal-hal yang harus kami korbankan? Atau Bapak yang pantang makan makanan pemicu darah tinggi? Atau Bapak yang selama ini rajin berolahraga, setiap hari? Atau bahkan Ibu, yang rela tidak bersosialisasi dengan teman-temannya, demi untuk bisa mendampingi kami semua?

Tolong deh,Bapak-Ibu. Doa jauh lebih berharga dibanding komentar nyinyir.  Perhatian terhadap kami, yang siang-malam menjaga Bapak, jauh lebih bermanfaat dibanding buah tangan yang diiringi hati kotor.

And it was just the beginning.

Ternyata, walaupun Bapak sudah melewati masa kritis dan bisa melanjutkan perawatan di rumah, komentator tetap ada, dengan cara yang lain. Hingga sekarang, tangan kiri beliau masih tidak dapat digerakkan.
Kata mereka,

“kok masih kayak gitu? Ga pernah dilatih ya sama keluarganya?”
“Ibu / adek-adek, bapaknya itu dirawat, disenengin.”
“Masak nganterin ke pengobatan alternatif A/B ga mau? Buat orangtua itu harus ikhlas”
Ehm lagi. Bapak-Ibu. Sudah tahu belum bahwa selama ini kami selalu menyediakan waktu, tenaga, perhatian, dan materi untuk pengobatan? Sudah pernah merasakan ketar-ketir ketika ada informasi tentang pengobatan apapun itu, Bapak langsung minta mencoba, tanpa tahu apakah ada dana/waktu/tenaga yang cukup? Atau tentang bagaimana kami, yang anda lihat sehat-sehat saja, harus bisa berkorban perasaan demi menjaga emosi Bapak supaya tidak kambuh?

Dan saya yakin, di setiap masa selalu ada the nyinyirs.

Hmm. Saat ini, kami sudah cukup baik dalam mengatasi komentar-komentar menghakimi semacam itu. Sebuah pelajaran juga sebenarnya. Bahwa jangan pernah menghakimi tanpa memahami.

Pahami dulu. Gunakan empati. Barulah silakan berkomentar. Lebih baik lagi, memahami tanpa menghakimi.

DO NOT EVER judge something that you don’t even know WHY does it happen.Everybody has their own problems, and not everyone tells you about it. Respect it.


Tuesday, February 16, 2016

"Mau ke mana? Dari mana?"


Hari Senin, 15 Februari lalu, saya dan adik mengikuti sebuah acara diskusi. Yah, bukan acara formal, tapi lebih seperti  (orang Surabaya bilang) cangkrukan di C2O Library.
Acara ini menghadirkan prof. Howard Dick, seorang akademisi dari University of Melbourne yang menulis buku “Surabaya, City of Work”.


Apakah saya sudah membaca buku itu?

Jawabannya, belum. Lha wong sebelumnya malah saya tidak pernah mendengar ada buku tersebut, hehehe.
“Lalu apa yang membuat saya tertarik? “
Hm. Saya suka sejarah. Saya suka ilmu perkotaan. Saya suka Surabaya. Dan saya selaaaaluuuu tertarik apabila ada non WNI yang begitu antusias terhadap kota Surabaya.
“Apa sih yang mereka lihat dari kami, warga Surabaya, dan kota kami itu sendiri?”
Tapi, suka di sini bukan berarti menjadi obsesif. Yah, (masih) sebatas suka saja. Yang kadang antusias, kadang tidak tertarik. Anyway, pada dasarnya memang saya sudah berniat untuk datang, ya sudah, saya berangkat ke lokasi setelah sholat Maghrib di kantor.

Untuk pertama kalinya saya mengunjungi C2O Library di lokasi barunya, yang hanya bergeser 1 rumah dari lokasi sebelumnya, yaitu jl. Dr. Cipto 22. Untuk menuju ke sini, bisa melewati jl. Dr. Sutomo arah Darmo, belok kiri terakhir sebelum tikungan ke jl. Darmo, itulah jl. Dr. Cipto. Karena saya sersan (setir santai) dari kantor di gedung Spazio, saya tiba di sana sekitar pukul 18.45.

Tiba di sana, saya sapa kanan-kiri, basa-basi sedikit (saya kenal dengan beberapa pengelola C2O Library, btw), dan melihat-lihat sejenak buku dan koleksi CD di sana. Tak lama, acara mulai pkl 19.00, sekitar setengah jam mundur dari jadwal.

Kesan pertama melihat prof. Howard, beliau seperti dosen saya, prof. Johan Silas. Beliau berusia sekitar 60-70 tahun, terlihat bersahaja, dan ramah. Dan seperti sudah saya duga, dalam meneliti Surabaya, beliau juga banyak berguru dengan prof. Johan Silas. Ah, memang pak Silas benar-benar pakar tata kota kelas internasional yang panjang umur (just info, ibu beliau dikenal sebagai salah satu centurian kota Surabaya. So, it’s on his blood, actually). Informasi yang out of topic, hehe :p

Awalnya, pak Howard memulai dengan bahasa Indonesia yang sedikit membingungkan tatabahasanya. Maklum, sudah 10 tahun berlalu sejak terakhir beliau ke Indonesia. Tapi lambat laun, saya tertarik dengan bagaimana beliau bercerita dengan semangat, tentang apa yang beliau lihat dan amati dari Surabaya, dulu dan sekarang. Bagaimana Surabaya, sebagai kota perdagangan, kota besar, berada di situasi antara mempertahankan sisi historis, dan mengikuti perkembangan jaman, terutama terkait dengan kebutuhan masyarakat dan kapitalis.

Saya tidak ingin menuliskan ringkasan cerita pak Howard (karena akan terlalu panjang), namun saya ingin berbagi tentang kesan saya terhadap beliau, suasana cangkrukan, dan apa pengaruhnya terhadap saya.

Beliau sangat humble. Mengutip perkataan adik saya, sebagai profesor, beliau bisa diibaratkan saat itu mengosongkan gelasnya, dan segala pertanyaan, pendapat, dari audiens menjadi air yang mengisinya hingga penuh. Jadi, suasana sangat menyenangkan. Tidak ada yang lebih pintar, lebih ahli, atau menggurui.

Hingga waktu 2 jam berlalu. Pukul 21.00 juga waktunya C2O Library tutup. Di akhir acara, beliau mendatangi saya dan menyampaikan apresiasinya terhadap pertanyaan dari saya (saya sempat bertanya menjelang akhir acara). Itu juga sebuah pelajaran bagi saya. Bagaimana mengapresiasi rasa ingin tahu seseorang, sekalipun itu hal yang remeh, sebenarnya. Saya sampaikan pula bahwa saya memiliki beberapa data terkait perkembangan terakhir Surabaya, dan akan saya kirimkan via email kepada beliau.
Hm. Saya bersyukur menyempatkan diri untuk hadir. Sepertinya sedikit lebay ya hehehehe.
Tapi kapan lagi bisa berdiskusi santai dengan seorang professor dari Australia tentang topic yang saya minati?
So next time, if there’s any chance to be involved in everything you like, just do it ;)

NB :
Sayang sekali saya tidak mengambil gambar satupun saat cangkrukan. Mungkin lupa saking terbawa dengan alur acara, hehe.

NB lagi :
Jika ada di antara pembaca post ini (kalau ada, sih, hehe) yang tertarik untuk mengikuti kegiatan di C2O Library, boleh kontak saya, siapa tahu bisa berkegiatan bersama. Akan lebih menyenangkan apabila ada teman yang seminat, kan?



Saturday, February 13, 2016

Jenuh

Sebagai seorang-berusia-28-tahun (hingga tulisan ini dibuat) yang bekerja kantoran, dengan jadwal bekerja yang (as usual) mengikuti standar di masyarakat, tentu saya pernah (dan cukup sering) merasakan sesuatu yang disebut dengan….jenuh.

Yah, jenuh adalah kata umum, dengan banyaaaaaaaakkkk arti dan penyebab.

Buat saya, jenuh adalah ketika otak sulit merespon, entah pekerjaan ataupun aktivitas, yang ada di sekitar. Kok bisa? Entahlah. Orang bilang, jenuh karena beban pikiran yang overload. Ada yang berpendapat, butuh liburan sejenak. Yang lain berkata, (sudah waktunya) butuh pendamping hidup!

Haha. Pada level tertentu, mereka benar. Terlalu banyak pikiran. Sudah waktunya jalan-jalan. Butuh pendamping untuk saling berbagi.

Tapi bukan berarti mudah untuk mengatasinya.

Banyak pikiran? Jelas.
Saya menyukai pekerjaan kantoran saya. Sungguh. Banyak sekali manfaat yang saya rasakan. Hanya saja, sebulan terakhir memang ada rotasi besar-besaran di kantor, sehingga ada beban pekerjaan di divisi saya yang (terpaksa) harus dilimpahkan ke saya sementara rekan yang sebelumnya bertanggung jawab terhadap pekerjaan tersebut, dipindahkan ke divisi lain. Sementara, deadline tidak pernah menunggu.

“Cari kesibukan lain, lah. Jangan urusin kerjaan aja!”
Seperti saya sampaikan di profil saya, I love sewing! Sangat suka. Di sela-sela waktu luang, selalu saya sempatkan untuk berkutat dengan materi jahit. Sambil bermimpi suatu saat akan benar-benar membuat label sendiri (lihat aarafactory.blogspot.co.id ).
Kegiatan lain, berenang, berburu buku (komik, mostly :p ), atau menulis. Ah, dan diskusi tentang buku, atau tentang heritage / history.

Kegiatan yang bisa saya lakukan….sendirian. Sedikit dilema juga sebenarnya. Karena saya ingin ditemani, tapi tidak ingin bersama orang-orang yang (biasanya) ada di sekitar saya. Yah, sebagai extroverted introvert, saya lebih memilih bersama orang yang sangat memahami saya (baca : pasangan ) daripada bersama teman-teman. Hanya saja, saat ini saya sedang, ehem, single.

Maka rasanya, jenuh ini masih saja terasa.

“Kok bingung? Pergi liburan saja!”

Tidak segampang mengucapkannya. Walaupun secara penghasilan, (seharusnya) saya bisa memenuhi kebutuhan tersier seperti liburan dengan cukup mudah, tapi tunggu dulu. Itu adalah asumsi kalau 100% penghasilan adalah untuk saya pribadi.

Tapi tidak. Sebagai anak tertua yang belum menikah (kakak satu-satunya sudah menikah 4 tahun lalu, fyi), saya bertanggung jawab untuk memenuhi sebagian kebutuhan keluarga.

Bukan terpaksa, bukan dipaksa. Murni keinginan saya.
Saya tidak setega itu untuk bersikap masa bodoh dengan kondisi keluarga yang perlu penyesuaian pasca Bapak terserang stroke 2 tahun lalu. Saya yakin, anak lain juga akan memilih jalan yang sama, jika mengalami hal serupa.

That’s why, saya tidak bisa semudah itu untuk mengalokasikan dana untuk jalan-jalan dalam jumlah cukup besar. Paling-paling, saya baru bisa mengalokasikan waktu setidaknya 1-2 tahun sekali untuk jalan-jalan ke luar negeri. Tapi tidak masalah. Toh, di dalam/luar kota pun, masih bisa liburan kan?

Iya…..sampai titik tertentu.

Titik di mana ketika semua kejenuhan butuh diceritakan. Butuh dibagi. Butuh untuk didengarkan.
Iya, sepertinya sudah waktunya untuk memiliki pasangan hidup yang sebenarnya.

Sounds cheesy, right?

Tapi jujur deh, bukankah pasangan yang TEPAT adalah jawabannya?
Saya tidak sedang meracau tentang cinta-cintaan semata. Yang saya bicarakan adalah tentang bagaimana saya butuh seseorang yang bisa saling memahami dan mendampingi, dalam segala kondisi.

Jujur saja, peristiwa sakitnya Bapak telah menunjukkan bagaimana orang bisa berubah apabila dihadapkan pada kondisi yang tidak baik. Bagaimana seseorang memilih untuk pergi di saat saya masih butuh didampingi dan dikuatkan. Ah, jadi baper kan :p
Yah apa yang sudah berlalu memang tidak perlu diingat apalagi diharap. Tapi, sungguh sebuah pelajaran berharga. That’s why, hingga saat ini mungkin orang cenderung heran melihat saya belum 'berjalan' bersama yang lain setelah itu.

Bukan, bukan saya pemilih. Tapi, saya takut. Saya takut sakit hati lagi. Saya takut ditinggalkan lagi karena kondisi saya dan keluarga. Saya takut orang lain over-ekspektasi terhadap seorang SAYA. Dan bahkan saat ini, ketika saya mulai dekat dengan seseorang di luar sana, saya kembali merasakan ketakutan itu. Untung saja, kami memiliki banyak perbedaan yang, yah, cukup sulit untuk disatukan. Jadi kalaupun tidak berhasil, ya sudah tidak masalah.

Dan pada akhirnya, saya sadar bahwa hal ini jugalah yang membuat saya memendam sendiri kejenuhan saya. Sampai kapan?

Entahlah. Mungkin sampai saya tidak lagi…..jenuh.




NB : tidak berarti saya tidak berusaha. Ataupun berdoa dan berserah pada-Nya. Saya percaya kejenuhan inipun adalah bagian dari rencana-Nya. Hanya saja, boleh kan sedikit berbagi tentang hal ini di blog? ;)

Hello!

This is my very first post on my personal blog.

So…. Hello!

I am an Indonesian, also live in Indonesia for 28 years, so far. Yes, I have no idea about living abroad, yet.
Have a passion in sewing, and made a blog about that. Please visit aarafactory.blogspot.co.id if you wanna know more about that.
And this blog, will be my open diary about my daily life, random activities, and other little things on my mind. I’ll write it in Bahasa and English, but mostly in Bahasa since that’s my mother tounge, hehe.

Will be updated as soon as it should be a.k.a depends on my current mood :p