Thursday, February 18, 2016

Memahami, bukan menghakimi

Ketika melihat orangtua yang tampak renta sedang duduk berjualan di pinggir jalan, apa kira-kira yang ada di benak orang yang melintas?
“ Duh, kasihan ya.”
“Anaknya gimana, sih, orangtua kok bukannya dirawat malah dibiarin jualan di jalan.”
Dan lain-lain.
Berkomentar yang berlanjut dengan menghakimi. Pernahkah, atau seringkah, kita melakukannya?

Saya? Oh, jelas pernah. Menghakimi tidak perlu berpikir panjang. Tidak perlu analisa terlalu dalam. Cukup melihat, atau membaca, atau mendengar. Kemudian, meluncurlah kalimat-kalimat penghakiman. Setelahnya, ya lupa. Atau menjadi ‘stigma’ di mata saya terhadap hal-hal serupa.

Hanya saja, seiring dengan proses hidup yang semakin lama semakin dewasa (kalau tidak ingin disebut, ehem, tua :p ), saya semakin menyadari bahwa ada banyak alasan di balik terjadinya suatu kejadian. Beda orang, beda alasan. Apakah yang satu benar dan yang lain salah? Tidak juga.

Pengalaman pribadi, lagi-lagi didapat setelah peristiwa berharga di keluarga.

Juni 213, Bapak yang saat itu menetap di Jakarta, ditemukan tidak sadarkan diri dengan pendarahan di mulut, hidung, telinga. Alhamdulillah, Tuhan masih berkehendak beliau tetap hidup setelah mengalami koma cukup lama.
Masa-masa mendampingi Bapak selama perawatan (1 bulan di ICU, 2 bulan di rawat inap) di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta,  kami sekeluarga lewati dengan penuh perjuangan. Lahir-batin. Jasmani-rohani. Emosi-materi.

Bagaimana tidak. Saat itu saya dan kakak tinggal dan bekerja di Surabaya. Dua adik sedang menempuh kuliah di Malang dan Surabaya. Sedangkan Ibu mobile, dari satu kota ke kota lain untuk mendampingi kami semua, bergantian.

Otomatis kami harus bisa mengatur jadwal, di samping mengatur pengeluaran dan juga menata pikiran. Dan satu hal yang bisa menggerakan kami menempuh semua kesulitan itu adalah : karena kami sayang beliau, dan kami ingin yang terbaik untuk orangtua kami.

Hanya saja, the nyinyirs is everywhere. Hehe.

Menyerbu tanpa kami minta, tanpa bertanya pada kami, tanpa melihat perjuangan kami.

“Makanya, kesehatan bapaknya dijaga, udah tau darah tinggi”
“Haduh, saya sudah umur segini masih sehat. Makanya, pola makan dijaga dong”

Ehm. Bapak-Ibu. Sudah tahu belum kalau selama ini, kami selalu menjaga Bapak dari emosi berlebihan, walaupun ada hal-hal yang harus kami korbankan? Atau Bapak yang pantang makan makanan pemicu darah tinggi? Atau Bapak yang selama ini rajin berolahraga, setiap hari? Atau bahkan Ibu, yang rela tidak bersosialisasi dengan teman-temannya, demi untuk bisa mendampingi kami semua?

Tolong deh,Bapak-Ibu. Doa jauh lebih berharga dibanding komentar nyinyir.  Perhatian terhadap kami, yang siang-malam menjaga Bapak, jauh lebih bermanfaat dibanding buah tangan yang diiringi hati kotor.

And it was just the beginning.

Ternyata, walaupun Bapak sudah melewati masa kritis dan bisa melanjutkan perawatan di rumah, komentator tetap ada, dengan cara yang lain. Hingga sekarang, tangan kiri beliau masih tidak dapat digerakkan.
Kata mereka,

“kok masih kayak gitu? Ga pernah dilatih ya sama keluarganya?”
“Ibu / adek-adek, bapaknya itu dirawat, disenengin.”
“Masak nganterin ke pengobatan alternatif A/B ga mau? Buat orangtua itu harus ikhlas”
Ehm lagi. Bapak-Ibu. Sudah tahu belum bahwa selama ini kami selalu menyediakan waktu, tenaga, perhatian, dan materi untuk pengobatan? Sudah pernah merasakan ketar-ketir ketika ada informasi tentang pengobatan apapun itu, Bapak langsung minta mencoba, tanpa tahu apakah ada dana/waktu/tenaga yang cukup? Atau tentang bagaimana kami, yang anda lihat sehat-sehat saja, harus bisa berkorban perasaan demi menjaga emosi Bapak supaya tidak kambuh?

Dan saya yakin, di setiap masa selalu ada the nyinyirs.

Hmm. Saat ini, kami sudah cukup baik dalam mengatasi komentar-komentar menghakimi semacam itu. Sebuah pelajaran juga sebenarnya. Bahwa jangan pernah menghakimi tanpa memahami.

Pahami dulu. Gunakan empati. Barulah silakan berkomentar. Lebih baik lagi, memahami tanpa menghakimi.

DO NOT EVER judge something that you don’t even know WHY does it happen.Everybody has their own problems, and not everyone tells you about it. Respect it.


3 comments: