Saturday, February 13, 2016

Jenuh

Sebagai seorang-berusia-28-tahun (hingga tulisan ini dibuat) yang bekerja kantoran, dengan jadwal bekerja yang (as usual) mengikuti standar di masyarakat, tentu saya pernah (dan cukup sering) merasakan sesuatu yang disebut dengan….jenuh.

Yah, jenuh adalah kata umum, dengan banyaaaaaaaakkkk arti dan penyebab.

Buat saya, jenuh adalah ketika otak sulit merespon, entah pekerjaan ataupun aktivitas, yang ada di sekitar. Kok bisa? Entahlah. Orang bilang, jenuh karena beban pikiran yang overload. Ada yang berpendapat, butuh liburan sejenak. Yang lain berkata, (sudah waktunya) butuh pendamping hidup!

Haha. Pada level tertentu, mereka benar. Terlalu banyak pikiran. Sudah waktunya jalan-jalan. Butuh pendamping untuk saling berbagi.

Tapi bukan berarti mudah untuk mengatasinya.

Banyak pikiran? Jelas.
Saya menyukai pekerjaan kantoran saya. Sungguh. Banyak sekali manfaat yang saya rasakan. Hanya saja, sebulan terakhir memang ada rotasi besar-besaran di kantor, sehingga ada beban pekerjaan di divisi saya yang (terpaksa) harus dilimpahkan ke saya sementara rekan yang sebelumnya bertanggung jawab terhadap pekerjaan tersebut, dipindahkan ke divisi lain. Sementara, deadline tidak pernah menunggu.

“Cari kesibukan lain, lah. Jangan urusin kerjaan aja!”
Seperti saya sampaikan di profil saya, I love sewing! Sangat suka. Di sela-sela waktu luang, selalu saya sempatkan untuk berkutat dengan materi jahit. Sambil bermimpi suatu saat akan benar-benar membuat label sendiri (lihat aarafactory.blogspot.co.id ).
Kegiatan lain, berenang, berburu buku (komik, mostly :p ), atau menulis. Ah, dan diskusi tentang buku, atau tentang heritage / history.

Kegiatan yang bisa saya lakukan….sendirian. Sedikit dilema juga sebenarnya. Karena saya ingin ditemani, tapi tidak ingin bersama orang-orang yang (biasanya) ada di sekitar saya. Yah, sebagai extroverted introvert, saya lebih memilih bersama orang yang sangat memahami saya (baca : pasangan ) daripada bersama teman-teman. Hanya saja, saat ini saya sedang, ehem, single.

Maka rasanya, jenuh ini masih saja terasa.

“Kok bingung? Pergi liburan saja!”

Tidak segampang mengucapkannya. Walaupun secara penghasilan, (seharusnya) saya bisa memenuhi kebutuhan tersier seperti liburan dengan cukup mudah, tapi tunggu dulu. Itu adalah asumsi kalau 100% penghasilan adalah untuk saya pribadi.

Tapi tidak. Sebagai anak tertua yang belum menikah (kakak satu-satunya sudah menikah 4 tahun lalu, fyi), saya bertanggung jawab untuk memenuhi sebagian kebutuhan keluarga.

Bukan terpaksa, bukan dipaksa. Murni keinginan saya.
Saya tidak setega itu untuk bersikap masa bodoh dengan kondisi keluarga yang perlu penyesuaian pasca Bapak terserang stroke 2 tahun lalu. Saya yakin, anak lain juga akan memilih jalan yang sama, jika mengalami hal serupa.

That’s why, saya tidak bisa semudah itu untuk mengalokasikan dana untuk jalan-jalan dalam jumlah cukup besar. Paling-paling, saya baru bisa mengalokasikan waktu setidaknya 1-2 tahun sekali untuk jalan-jalan ke luar negeri. Tapi tidak masalah. Toh, di dalam/luar kota pun, masih bisa liburan kan?

Iya…..sampai titik tertentu.

Titik di mana ketika semua kejenuhan butuh diceritakan. Butuh dibagi. Butuh untuk didengarkan.
Iya, sepertinya sudah waktunya untuk memiliki pasangan hidup yang sebenarnya.

Sounds cheesy, right?

Tapi jujur deh, bukankah pasangan yang TEPAT adalah jawabannya?
Saya tidak sedang meracau tentang cinta-cintaan semata. Yang saya bicarakan adalah tentang bagaimana saya butuh seseorang yang bisa saling memahami dan mendampingi, dalam segala kondisi.

Jujur saja, peristiwa sakitnya Bapak telah menunjukkan bagaimana orang bisa berubah apabila dihadapkan pada kondisi yang tidak baik. Bagaimana seseorang memilih untuk pergi di saat saya masih butuh didampingi dan dikuatkan. Ah, jadi baper kan :p
Yah apa yang sudah berlalu memang tidak perlu diingat apalagi diharap. Tapi, sungguh sebuah pelajaran berharga. That’s why, hingga saat ini mungkin orang cenderung heran melihat saya belum 'berjalan' bersama yang lain setelah itu.

Bukan, bukan saya pemilih. Tapi, saya takut. Saya takut sakit hati lagi. Saya takut ditinggalkan lagi karena kondisi saya dan keluarga. Saya takut orang lain over-ekspektasi terhadap seorang SAYA. Dan bahkan saat ini, ketika saya mulai dekat dengan seseorang di luar sana, saya kembali merasakan ketakutan itu. Untung saja, kami memiliki banyak perbedaan yang, yah, cukup sulit untuk disatukan. Jadi kalaupun tidak berhasil, ya sudah tidak masalah.

Dan pada akhirnya, saya sadar bahwa hal ini jugalah yang membuat saya memendam sendiri kejenuhan saya. Sampai kapan?

Entahlah. Mungkin sampai saya tidak lagi…..jenuh.




NB : tidak berarti saya tidak berusaha. Ataupun berdoa dan berserah pada-Nya. Saya percaya kejenuhan inipun adalah bagian dari rencana-Nya. Hanya saja, boleh kan sedikit berbagi tentang hal ini di blog? ;)

No comments:

Post a Comment